11

17 2 0
                                    

"Tabib Jung," Sujeong membuka percakapan, "Nona Yein mohon izin untuk lebih dulu menyampaikan sesuatu."

Yoonoh, masih dengan senyumnya yang terkendali, menyilakan Yein bicara. "Ungkapkanlah semuanya, Yein. Akan kusimak."

Mundur selangkah dari tempat duduknya, Yein menyilangkan telapak di depan pangkuan dan membungkuk dalam-dalam. Air matanya menetes satu-satu ke lantai seiring meluncurnya patahan-patahan sesal dari bibir.

"Maafkan aku karena telah membangkang dan tidak bisa menjaga sikap, Kakak. Aku harusnya mendengarkan Kakak baik-baik dan tidak memutuskan sesukaku sebelum Kakak selesai bicara. Aku juga minta maaf telah kabur dari rumah, padahal Kakak sedang sakit. A-Aku sebenarnya masih tidak mau dijodohkan, tetapi kalau dengan laki-laki yang baik, akan kupertimbangkan .... Ma-Maksudku adalah ...."

Yein mulai kebingungan menyusun kalimat, jadi Sujeong membantunya.

"Nona Yein ingin masalah perjodohan ini ditunda sementara sampai Tabib Jung benar-benar pulih. Beliau juga ingin agar perihal perkenalan dengan pria dibicarakan perlahan-lahan dan tanpa paksaan."

Yein mengangguk-angguk cepat. "Dan, dan, aku juga ingin agar Kakak tidak bekerja dulu. Tidak apa-apa, sih, kalau tidak bisa, tetapi setidaknya kita harus bersama sampai Kakak sembuh. Sebagai permintaan maaf—"

"Sebenarnya, Nona Yein berpikir akan lebih baik bagi Tabib Jung untuk tidak bekerja dahulu. Jika memang mustahil untuk berlibur, setidaknya Nona ingin merawat Anda sampai tuntas sebagai permintaan maaf." Sekali lagi Sujeong menerjemahkan dan Yein menyetujuinya. Gadis itu menengadah takut-takut untuk melihat reaksi kakaknya, tetapi apalah yang mesti ditakutkan? Yoonoh begitu terharu; tidak terlintas secerat pun rasa marah pada parasnya.

"Masih ada yang ingin kausampaikan lagi?" Saat Yein menidakkan, Yoonoh mengulurkan kedua lengannya. "Kalau begitu, boleh aku memelukmu?"

Bobol sudah tanggul Yein. Ia melemparkan tubuh dalam dekapan Yoonoh dan menangis sesenggukan seperti anak kecil. Yoonoh mengelus-elus rambutnya, balik meminta maaf dengan kalem, jauh berbeda dari seseorang yang melepaskan seluruh bebannya di antara bayang-bayang pepohonan tempo hari.

Seorang kakak yang baik pasti akan mengorbankan satu-dua hal untuk menjadi teladan bagi adiknya. Dalam hal Tabib Jung, itu adalah kebebasannya mengutarakan perasaan.

Gagasan tersebut memperkuat kesan intim pertemuan Sujeong dan Yoonoh di hutan kayu merah. Sujeong berdebar-debar; beginikah rasanya dipercaya menjaga rahasia rapuh pria yang tangguh?

"Aku juga minta maaf karena telah berkata kasar padamu, tidak pernah menghabiskan waktu bersamamu, dan memaksakan kehendakku. Kuharap kejadian ini tidak membuatmu takut mengungkapkan keinginanmu padaku. Tidak ada benar dan salah di antara kita, jadi mari lebih sering berbincang agar tidak berselisih lagi." Yoonoh menghela napas panjang, suaranya melirih. "Aku sangat menyayangimu."

Satu lengan akan selalu menekuk ke dalam. Yein dan Yoonoh, bagaimanapun, adalah keluarga; tinggal masalah waktu sampai mereka akhirnya dapat saling terbuka. Setelah itu, Sujeong akan kembali ke kehidupan lamanya—yang tanpa Yoonoh.

Detik itu, meski tahu dirinya sejak awal cuma orang luar, Sujeong merasa amat kesepian. Tanpa sadar, tangannya mengepal di atas paha. Terbayang bagaimana ia diminta berkemas cepat-cepat, dulu sekali setelah shinbyeong-nya teratasi, padahal usianya belum sepuluh tahun.

Betapa beruntung Nona Yein, bisa kembali pada keluarganya kapan saja menginginkan, sedangkan aku—tubuhku, jiwaku—telah menjadi milik para dewa. Mana bisa aku pulang kepada keluargaku yang tak terhubung dengan Nirwana?

"Sebenarnya, sejak seminggu lalu, aku menginap di rumah Kak Sujeong."

Pengakuan Yein menyentak Sujeong dari lamunannya. Si nona muda memang berencana mengatakan bahwa para mudang menolongnya tanpa menyebutkan kapan mereka bertemu. Dengan begitu, Yoonoh tidak akan merasa dibohongi. Mengapa Yein malah bilang 'seminggu lalu'?

The Bride's Eating Persimmon ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang