36

9 1 0
                                    

"Aku tidak apa-apa, Bongjae. Luka ini dangkal, pasti akan menutup dengan cepat setelah dibersihkan."

"Kakak belum menjawab pertanyaanku." Jaehyun mengernyit tak puas. Belati yang tadi terempas ke jalan tertangkap penglihatannya, maka dipungutnya benda itu dan diamatinya lamat-lamat. "Ini?"

Sujeong menggeleng-geleng. "Jangan dipikirkan. Simpan atau tepikan itu agar tidak melukai orang."

Tidak menyerah, Jaehyun kini mencengkeram kuat gagang belati. "Katakan siapa yang melukaimu."

"Mengapa penting?" Dengan hati-hati, Sujeong mengambil alih pisau dan meletakkannya di keranjang rumput Jaehyun. "Aku mungkin tidak akan bertemu dengan dia lagi. Selain itu, apa yang akan kaulakukan jika tahu siapa yang melukaiku?"

Jaehyun tampak bingung, sebentar kemudian muram. Merasa bersalah karena membuat sang chaebi murung, Sujeong menepuk lembut bahu si pemuda.

"Semua kekacauan ini sumbernya cuma satu. Percuma menyakiti banyak orang semata karena mereka tampak jahat, Bongjae."

Selanjutnya, Sujeong mengajak Jaehyun untuk berlalu dari tempat itu. Dalihnya, ia tidak tahan dengan aura kegelapan dari sana, tetapi sebenarnya, yang lebih pedih adalah fakta bahwa tempat itu menyimpan kenangan-kenangan yang baik pula. Percakapan pertamanya dengan Yoonoh, cara Yoonoh merawatnya saat sakit, sentuhan menggetarkannya pada suatu malam, juga pertemuan-pertemuan dengan Yein yang ceria ....

"Aku memang tidak setenang dan sebijaksana Tabib Jung," kata Jaehyun tiba-tiba, membuat Sujeong menengok. "Tapi, aku masih di sisi Kakak. Kalau sedih atau marah, Kak Sujeong bisa bercerita padaku."

Sujeong tertegun. Permukaan matanya berkilapan ketika memandang Jaehyun. Walaupun tidak pernah menganggap Jaehyun lebih dari seorang adik, Sujeong tak pernah tak tersentuh oleh ketulusannya. Bagaimanapun, dari awal pertemuan mereka, Jaehyun senantiasa mengusahakan yang terbaik untuk Sujeong.

Kalau dipikir-pikir, Jaehyun juga semakin kurus. Kulitnya menggelap karena bekerja di bawah terik matahari, tetapi bibirnya pucat karena kurang makan .... Masa ini pasti sulit juga buatnya.

"... lalu mengapa masih memperhatikanku?"

"Ya?"

"Bukan apa-apa," geleng Sujeong saat sadar dirinya menggumam; senyumnya lebih ceria. "Aku cuma kagum dan senang, habis Bongjae selalu baik padaku yang seperti ini. Kamu juga, lho; kalau sedang sedih atau lelah, kamu bisa selalu berbagi denganku."

Alis Jaehyun terangkat, tak percaya Sujeong baru saja memujinya. Pipi yang mulai tirus itu tak memerah, tetapi Sujeong tetap menangkap kebahagiaan yang sama akibat pujiannya.

"TERIMA KASIH—maksudku, tidak, Kak Sujeong-lah yang harus berbagi perasaan duluan denganku!"

Jaehyun selalu mengungkapkan emosinya sejujur ini. Bagaimana Sujeong tak melihatnya? Mungkin sekarang kurang tepat untuk menumpahkan segala ganjalan itu, tetapi demi menggembirakan Jaehyun, Sujeong mengucapkan sesuatu yang menyerupai janji.

"Aku akan melakukannya kalau sudah tak tertahankan, lebih enak lagi kalau ditemani roti kukus hangat. Setelah semuanya selesai, mau merayakannya di kedai Paman Goo?"

"Mau! Mau sekali! Apa pun yang membuat Kak Sujeong senang, pasti akan kulakukan!"

Entah kapan terwujud, bayangan-bayangan masa depan ini sejenak memalingkan Sujeong dan Jaehyun dari segala kesulitan. Mengkhayal menimbulkan kegembiraan kecil-kecil yang bernilai—walaupun kadang menyakitkan membandingnya dengan kenyataan. Optimis, Sujeong percaya semua mimpi yang mereka berdua urutkan selama perjalanan masih mungkin terjadi 'setelah semuanya selesai'.

The Bride's Eating Persimmon ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang