"Akhirnya kita tiba juga!" desah Sujeong usai melintasi gerbang Nagan. Jika sehat, desa ini tidak ada bedanya dengan Baekseonchon sebelum serangan panas: ramai, hidup, dan cerah. Para penduduknya memancarkan kegembiraan dan energi yang baik, begitu pula roh-rohnya.
Seperti apa tempat ini ketika Tuan Yoonoh bertugas?
Bagaimanapun, yang jelas tidak sedamai sekarang. Yoonoh telah berperan serta memulihkan Nagan dan itu selalu membuat Sujeong terenyuh. Senyum para penduduk desa yang tanpa beban, meski tidak ditujukan padanya, secara misterius mampu membangkitkan kenangan akan kelembutan Yoonoh sebagai seorang penyembuh.
Pemakaman khusus para tabib wabah Nagan dilengkapi sebuah monumen berupa patung seorang tabib bercadar di pintu masuknya. Di dekatnya, ada pondok mungil tempat para penjaga makam beristirahat. Setiap hari, dua orang penjaga bergiliran memastikan peziarah tidak sampai merusak salah satu lokasi bersejarah di desa ini, juga membersihkan dan merawat seluruh area pemakaman. Mereka bahkan memperbarui nama di nisan-nisan yang pudar sebagai bentuk penghormatan.
Setelah memberikan sekeranjang kentang dan ubi kepada penjaga makam dan berbasa-basi sebentar, kedua mudang menyusuri jajaran pusara. Terlebih dahulu, Sujeong berlutut di depan pusara Jaemin yang berada paling jauh dari pintu masuk, menandakan bahwa dialah tabib yang pertama gugur akibat wabah.
Mijoo menyalakan dupa dan menyiapkan sesaji, sedangkan Sujeong menggunakan api Mijoo untuk membakar surat Chaewon. Ritual demikian mampu mengantarkan pesan sampai Nirwana dan biasanya dilakukan oleh orang tanpa kekuatan spiritual tinggi. Ini pertama kalinya Sujeong mengirim pesan kepada arwah dengan cara tersebut—karena cara lain yang digunakannya menghubungi Jaemin telah gagal.
Lazimnya, roh orang mati masih dapat dipanggil kembali, tetapi tidak dengan Jaemin. Secara misterius, arwah sang calon tabib tidak dapat ditemukan di mana pun, bahkan di pusaranya dan bekas-bekas rumah karantina. Arwahnya seakan menghilang ke dalam udara tipis. Chaewon hampir putus asa mendengarnya, tetapi ia kembali terhibur begitu Sujeong bilang ada cara lain untuk menghubungi Jaemin—meskipun searah.
Sujeong dan Mijoo menangkupkan kedua belah tangan, berdoa.
Tuan Muda Jaemin, di mana pun Anda berada, semoga Anda dapat membaca surat Nona Chaewon. Ketahuilah bahwa Nona Chaewon menghargai setiap detik belajar bersama Anda, menjadikannya kenangan terindah bahkan setelah menikah dan memiliki putra. Saya dan Nona Mijoo juga akan selalu mengenang Anda sebagai sosok ceria lagi penuh semangat. Beristirahatlah dalam damai.
Selama berdoa, Sujeong memusatkan pikiran untuk merasakan kehadiran tenaga-tenaga alam, belum menyerah mencarikan Jaemin untuk Chaewon. Ia tidak menemukan apa-apa selain roh alam dan serpihan-serpihan arwah para tabib dari nisan yang lain. Menghela napas dalam, Sujeong bangkit dari depan pusara seselesainya berdoa.
"Memang dicari seperti apa pun, tidak bisa ketemu."
Sujeong melirik Mijoo yang barusan berbicara, terkejut Mijoo ikut mencari keberadaan Jaemin di pemakaman ini. "Sayangnya demikian. Saya terkejut Nona masih berusaha menemukannya, padahal Nona sendiri yang bilang pada saya untuk menyerah pada ziarah pertama."
"Aku hanya tak habis pikir, bagaimana arwah mereka menghilang begitu saja?" heran Mijoo sembari beranjak ke makam berikutnya, berjarak satu nisan dari Jaemin. "Hilangnya roh mereka benar-benar aneh. Ibu saja tidak pernah menjelaskan yang begini selama melatih kita."
Sujeong membenarkan saat menata sesaji dan dupa di makam ketiga. Nama Yoonoh tertera pada pusara itu. Serupa dengan Jaemin, makam tersebut tidak diselimuti tekanan roh tertentu, jadi bahkan dalam pandangan seorang dukun, nisan Yoonoh hanyalah sebuah batu bertuliskan nama.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bride's Eating Persimmon ✅
FanfictionRyu Sujeong, seorang mudang (syaman wanita) murid Lee Mijoo, suatu hari ditugaskan untuk melakukan ritual pemberkatan rumah baru Keluarga Jung di Desa Baekseonchon. Beberapa kali mengunjungi rumah tersebut, Sujeong dan Mijoo merasakan kegelapan yang...