18

14 2 0
                                    

"Kak Sujeong, ayo kita lewat jalan lain!"

Masalahnya, sosok yang berteriak-teriak di depan rumah bangsawan itu—Jaemin—dan lelaki yang bersamanya—Yoonoh—terlanjur tertangkap mata Sujeong. Alih-alih memenuhi mau para chaebi, si gadis bergeming dan memperhatikan baik-baik kedua penyembuh muda di depan. Jaemin dan Yoonoh sama-sama membawa kotak peralatan, berarti rumah megah ini milik salah satu pasien mereka. Yoonoh tampak menegur muridnya yang baru saja berbuat tidak patut, lalu membungkuk berulang-ulang pada lelaki berpakaian sederhana di ambang halaman. Pelayankah? Pria tua itu membungkuk lebih dalam ketimbang Yoonoh, menengok ke arah rumah, dan membungkuk lagi.

Apa yang terjadi, sih? Aku tidak dapat menyimpulkan apa-apa!

"Kak!" Joochan lekas meraih pergelangan tangan Sujeong yang hendak mendekati Yoonoh. "Jangan ke sana!"

"Lepaskan dulu, Joochan," pinta Sujeong, sedikit tersengal karena cemas. "Ada sesuatu yang harus kupastikan."

"Kak Sujeong kan dilarang Nona Mijoo untuk mendekati Tabib Jung." Takut-takut Joochan memperingatkan. Sementara itu, Jaemin dan Yoonoh urung beranjak begitu menyadari mereka sedang diawasi. Mengenali Sujeong sebagai salah satu orang yang memperhatikan mereka, Jaemin menarik napas hingga dadanya membusung, lalu berjalan ke arah sang mudang. Sayang sekali, Yoonoh mencekal lengannya dan menggeleng. Mereka terlibat argumen singkat sebelum sang murid mengalah dengan paras lesu.

Usai Jaemin membalikkan punggung, barulah Yoonoh berpaling pada Sujeong dan rekan-rekan chaebi-nya.

Darah Sujeong berdesir manakala Yoonoh tersenyum dan memberi salam melalui sebuah anggukan santun. Wajahnya terlihat lebih letih dibanding saat di bukit. Kabut-kabut hitam yang menempelinya pun menebal, tetapi senyumnya tak pernah lekang, seakan-akan rautnya cuma diperuntukkan demi kebahagiaan orang lain. Sujeong benci itu. Ia lebih baik melihat sisi rapuh Yoonoh (dan menghapuskannya) daripada disuguhi kepura-puraan.

Tanpa sepatah kata, ujungnya Yoonoh menyusul Jaemin dan meninggalkan Sujeong dengan segala kecamuk dalam hati.

Benar. Tabib Jung hanya memercayaiku. Kekuatanku juga sudah dimurnikan dengan bersembahyang di bukit, jadi—

"Berhenti memandanginya, Kak."

Baru setelah badan Jaehyun menghalangi alur pandangnya, netra Sujeong teralih dari punggung Yoonoh yang tampak kesepian tadi.

"Bongjae ...."

"Walaupun tidak sepeka Kakak dan Nona Mijoo, aku dan Joochan masih bisa merasakan arwah perusak di sekeliling Tabib Jung." Jaehyun sekilas menatap kawan jabriknya. "Ya, kan?"

Demi menghindari perselisihan, Joochan terpaksa mengakui betapa buruk perasaannya selama Yoonoh berada dalam jarak pandang.

"Kakak dengar itu? Jika kami berdua saja sudah merasa terusik, kekuatan kegelapan itu pasti lebih mempengaruhimu." Nyalangnya sorot mata Jaehyun membuat Sujeong menggigit bibir. Justru kegelapan Yoonoh-lah yang menarik Sujeong selama ini. Arwah buruk di sekitar sang tabib bagai teriakan minta tolong yang sunyi, memanggil satu-satunya orang yang dapat mengenalinya: Sujeong. Namun, naluri melindungi milik Jaehyun—juga Mijoo—tidak pernah salah.

Bukan sekarang waktu yang tepat untuk mendekatinya. Lagi pula, kegelapan itu masih bisa ditanganinya. Semoga.

Persembahyangannya di bukit memahamkan Sujeong bahwa para roh yang menjadi tuannya, keluarga kecilnya di Baekseonchon, dan putra Miryeon tidak bisa dilepaskan salah satu. Jika terus berusaha membersihkan kegelapan Yoonoh, Sujeong tidak akan mempunyai cukup tenaga untuk ritual lain. Mengejar-ngejar Yoonoh dengan alasan keselamatan sang tabib juga akan menjauhkannya dari Mijoo serta para chaebi. Ia sudah menang atas hasratnya membersamai Yoonoh dengan tidak mendampingi laki-laki itu selama sisa sesi banghyeol Chaewon. Tinggal mengendalikan perasaannya lebih jauh lagi sekaligus menyimpan tenaga untuk waktu yang benar-benar genting.

The Bride's Eating Persimmon ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang