17

26 2 0
                                    

Hidup Sujeong selama menjembatani dua dunia amat berisik. Keluh-kesah manusia yang memerlukan kemampuannya dan pesan dari dunia gaib bergilir mengisi hari-harinya. Sesekali, ia perlu bercengkerama dengan diri sendiri. Apa yang sesungguhnya ia inginkan, kepada siapa harus diserahkannya sebagian besar waktu dan perasaan, Sujeong butuh merenungkan itu semua selagi bersembahyang dalam keheningan bukit. Seperti kata Mijoo, ia wajib melakukan itu demi kesucian energi rohaniahnya dan memperbarui komitmennya sebagai syaman.

Bukit hijau ini terjal, sulit mendakinya jika rok tidak diikat. Sujeong menjejak dalam-dalam dan berpegang pada pepohonan menggunakan satu tangan—berhubung tangan lain membawa keranjang perlengkapan sembahyang. Kemungkinan tergelincir ke titik mula lumayan besar, tetapi di situlah kepercayaan mudang kepada para arwah diuji. Sujeong yakin roh hutan masih akan menjaganya selama pendakian lantaran ia selalu menghormati keberadaan mereka.

Napas Sujeong tinggal sepenggal begitu meja batu yang dijadikan altar oleh para mudang Baekseonchon tampak di ujung mata. Roh-roh penjaga bukit ini tidak kasatmata, tetapi energi mereka deras menyambut para pengabdi, menyesaki dada Sujeong dengan keharuan. Sendi-sendi yang mau lepas tidak lagi dirasakan. Sesaji ditata dan dupa dinyalakan, lalu Sujeong memulai sembah sujudnya.

Gemericik air, cicit burung, dan kepak sayap serangga menjadi latar belakang Sujeong selama menghubungkan diri dengan entitas-entitas gaib. Kadang, pesan-pesan mereka tak perlu bahasa untuk dipahami; tahu-tahu saja, Sujeong merasa damai. Arwah alam merengkuhnya tanpa pernah menghakimi seperti manusia.

Tempat ini lebih terasa seperti rumah ....

Selesai memanjatkan doa dan puja-puji, Sujeong duduk di sisi altar. Ia menengadah dan memejam, berharap menemukan Dewa Gunung Sanshin bahkan di bukit kecil ini. Ia menangkap kehadiran sang dewa samar-samar, bersama dengan para 'penduduk asli' bukit. Mereka menjangkau jauh ke dasar nurani Sujeong yang belakangan berkalang hasrat.

Memalukan. Jika Langit memilihku, mengapa kutinggalkan mereka? Sujeong mencerca diri sendiri. Menjadi mudang memang menantang, apalagi di wilayah kekuasaan cendekiawan Konfusius yang menganggap mudang penipu lagi kotor. Namun, inilah panggilan Sujeong. Tugasnya sebagai 'penghubung' tak seharusnya dianggap penghalang menuju kebahagiaan sejati, bahkan bisa dibilang, orang-orang yang baru hadir dalam hidupnyalah yang menariknya menjauh dari 'rumah'.

Tabib Jung dan Nona Mijoo orang-orang baik, tetapi mereka punya cara masing-masing untuk membahagiakanku. Akulah yang kurang bijaksana, merebut lebih dari yang diizinkan semesta hingga mengesampingkan kewajiban.

Kesejukan bukit ini sarat kenangan, memancing sebuah lagu terlantun dari bibir Sujeong. Tak ada yang pernah mendengar lagu tersebut selain Sujeong, Mijoo, dan mendiang ibu Mijoo—guru mereka. Dahulu, lagu ini digubah mendadak oleh sang guru pada pendakian pertama ke altar Sanshin di lereng Gunung Yudal. Berhubung muridnya masih belia dan mudah mengeluh, ia mengajarkan sejarah sang dewa melalui nyanyian yang ceria. Hanya Sujeong yang semangatnya meningkat setelah bernyanyi karena memang gemar bernyanyi, sedangkan anak kandung sang guru makin menggerutu sampai mendapat tepukan keras di paha.

Nyonya Lee, saya dan Nona Mijoo sangat kangen .... Putri Anda telah menjaga saya dengan baik sebagaimana seorang kakak pada adiknya, maka tolong jagalah dia pula.

Sujeong buru-buru mengusap air mata sebelum menetes. Gurunya, Mudang Lee, memperlakukannya laksana anak kandung, bahkan kadang Mijoo yang iri lantaran Mudang Lee lebih mudah berkompromi jika menyangkut 'si bungsu'. Sayang sekali, saat Mudang Lee meninggal, Sujeong masih belum menyempurnakan kemampuannya sebagai syaman, tertinggal jauh dari Mijoo yang kini bertanggung jawab mendidiknya.

Saya tidak akan mengecewakan Anda dan Nona Mijoo, Nyonya Lee.

Tekad menjauhi Yoonoh terpancang semakin kokoh. Semurni apa juga jiwa lelaki itu, identitasnya sebagai putra Miryeon—dewi kegelapan—menarik banyak energi buruk yang mencemari kemampuan mudang. Menjaga jarak adalah hal yang paling tepat meskipun Sujeong tidak berpikir ia akan menjauh selamanya. Hal demikian tidak akan adil bagi Yoonoh yang sebenarnya tidak bersalah terhadap Sujeong. Di samping itu, bukankah perpisahan dapat memicu rindu pemanis pertemuan?

The Bride's Eating Persimmon ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang