Rencananya, selain menyeduh teh, Sujeong juga akan menyajikan ubi madu. Walau kurang cocok, ubi madu merupakan kudapan termewah dalam gubuknya. Menebus ketidakmampuannya menjamu Yoonoh pada kali pertama dikunjungi, sekarang Sujeong ingin menyajikan sesuatu yang layak.
Ah, kilas balik. Dulu, Yoonoh masuk rumah untuk mengobati sekaligus menumbuhkan cinta pertama Sujeong. Tahu-tahu, cinta itu telah mekar sedemikian indah kali berikutnya Yoonoh masuk. Seraya menunggui air yang dijerangnya, Sujeong mengeluarkan tusuk sanggul dari kotak yang disimpannya di balik baju.
"Cantiknya .... Kukira seumur hidup, aku bakal pakai tusuk sanggul dari kayu," gumamnya, mengusap ornamen bunga kesemek di salah satu ujung. Pikirannya melanglang buana ke masa depan yang jauh dan akan terus melayang-layang andai kualinya tidak berbunyi.
Air dituang ke poci, cangkir ditata, dan potongan ubi rebus manis ditata di atas piring. Sujeong memandang puas hasil kerjanya, lalu membawa nampan kepada Mijoo dan Yoonoh.
"Hubungan saya dengan Ayahanda memang sedikit rumit."
Sejenak Sujeong berhenti di ambang ruangan, tetapi kehadirannya tetap disadari. Percakapan Mijoo dan Yoonoh pun terputus seakan tidak ingin ia mendengarkan.
"Karena calon istri Anda sudah datang," kata Mijoo, "tolong berceritalah dari awal, Tabib Jung. Kita belum terlalu jauh."
"Nona!" Sujeong merengek lirih, lalu menggamit telapak tangan Mijoo setelah cukup dekat untuk 'tidak menekankan bagian itu'. Tingkahnya memancing senyum penuh cinta dari Yoonoh. Pria itu menjelaskan bahwa sebelumnya, Mijoo menanyakan persetujuan orang tua sang tabib perihal pernikahan ini.
"Saya meminta pendapat dan restu Ayahanda sejak akhir musim panas, tetapi surat-surat saya tak berbalas, termasuk surat atas nama Yein yang biasanya berjawab. Saya sempat pergi ke Hansong untuk menemui beliau, tetapi beliau tidak di tempat. Para pelayan tidak mengizinkan saya menunggu hingga beliau dapat ditemui, tidak pula saya dipersilakan masuk sebab beliau berpesan demikian."
Teh dituangkan sedemikian rupa sehingga lebih cepat mendingin. Yoonoh kelihatannya butuh beberapa hirupan agar kegelisahannya lenyap dan cerita bisa diteruskan.
"Apa kesalahan Anda kepada beliau sampai diperlakukan begitu rupa?"
"Nona Mijoo," desis Sujeong, tidak suka bagaimana sang guru menyimpulkan bahwa kedurhakaan Yoonohlah yang membuatnya ditolak sang ayah. Mijoo cukup menatap Sujeong nyalang untuk membungkamnya.
"Ada satu yang sangat besar dan beberapa lainnya yang kecil. Beliau memang tidak pernah menuduhkannya, tetapi saya kerap merenungkan hal ini. Kesalahan yang paling fatal ... barangkali adalah merenggut nyawa istri kesayangannya ketika saya masih belia."
Istri kesayangan—maksudnya ibu Tabib Jung sendiri?! Meski terkejut dan menyanggah pernyataan ini dengan berupa-rupa tebakan, Sujeong berusaha untuk menjaga rautnya. Mustahil, Nona Yein kan bilang ibu mereka meninggal karena sakit! Tapi, arwah kotak menyulam tidak bilang begitu ....
"'Masih belia', kata Anda. Bagaimana seorang yang begitu muda dapat membunuh ibu sendiri?"
Yoonoh tertegun; wajahnya memurung. "Saya tidak ingat persis, tetapi konon, kematian ibu saya disebabkan seseorang—sesuatu—yang amat jahat menjemput saya pada hari nahas itu."
Miryeon.
Nama terkutuk ini muncul tanpa izin dalam benak Sujeong.
Kisah Yoonoh berikutnya dituturkan dari ingatan seorang mantan pelayan, pertama didengar Yoonoh sesudah ujian pegawai negeri. Ia singgah di rumah si pelayan berhubung tak diizinkan menginap di rumah masa kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bride's Eating Persimmon ✅
FanfictionRyu Sujeong, seorang mudang (syaman wanita) murid Lee Mijoo, suatu hari ditugaskan untuk melakukan ritual pemberkatan rumah baru Keluarga Jung di Desa Baekseonchon. Beberapa kali mengunjungi rumah tersebut, Sujeong dan Mijoo merasakan kegelapan yang...