O6

1.4K 148 15
                                    

Doyoung memasuki rumahnya sambil menarik tangan Junghwan. Junghwan meringis kala sang ibu menarik pergelangan tangannya terlalu kuat.

"Buna, sakit" ringisnya.

Doyoung yang mendengar ringisan sang anak, melepaskan tangannya dari tangan Junghwan. Melihat rona merah yang berasal dari tarikan tangannya pada tangan mungil sang putra.

"Maaf"

Junghwan mengangguk kecil.

"Buna baik-baik aja?" tanya Junghwan hati-hati.

Doyoung hanya diam mendengar pertanyaan yang terlontar dari belah bibir sang putra. Membuat Junghwan menatap khawatir sang ibu yang hanya terdiam.

"Buna?"

"Masuk kamar, cepat"

"T—tapi buna————"

Doyoung menatap anaknya tepat di manik lugu itu.

"Masuk, Kim Junghwan!" ucapnya sedikit membentak.

Junghwan terkejut. Untuk pertama kalinya ibunya membentak dirinya. Ingin rasanya Junghwan menangis. Lima tahun usianya, ibunya selalu bersikap lemah lembut dan tak pernah membentaknya.

Doyoung menyadari ucapannya. Ia tak tega melihat mata bulat itu berkaca-kaca, berusaha menahan cairan bening yang anak segera berlomba-lomba turun membasahi pipi gembil sang anak.

Junghwan hanya diam, membuat Doyoung sedikit merasa kesal. Terpaksa Doyoung menggendong tubuh mungil putranya menuju lantai atas. Di mana kamar Junghwan berada.

"Masuk" ucapnya tegas setelah menurunkan tubuh Junghwan dari gendongannya.

Junghwan menggeleng kecil.

"Kim Junghwan, kali ini aja nurut sama bunda. Masuk"

Junghwan menggeleng cepat.

"Juwan nda pelnah ngebantah buna, Juwan selalu nulut apa kata buna hiks"

Doyoung dibuat semakin merasa bersalah kepada putra kecilnya. Entah kenapa setelah melihat seseorang yang sangat ingin ia lupakan beberapa tahun terakhir ini, emosinya memuncak. Sedih, marah, kecewa, dan juga kembali merasa jijik akan dirinya sendiri.

"Makanya kamu harus terus nurut apa kata bunda. Sekarang, masuk!"

"Hiks" manik cokelat milik anak berpipi tembam itu sudah mengeluarkan cairan beningnya. Mengalir deras membasahi pipinya.

"Kalau kamu gak mau masuk, bunda akan ngurus surat kepindahan kamu dari kindergarten itu"

Manik sembab itu membola.

"B—buna mau Juwan pindah sekolah? Nda! Juwan nda mau! Juwan nda mau pisah thama Uwoo!"

"Makanya. Masuk. Sekarang" ucap Doyoung penuh penekanan pada setiap kata-katanya.

Junghwan lagi-lagi menggelengkan kepalanya.

"Ok, minggu depan kamu bakal bunda pindahin ke kindergarten lain di luar kota. Bila perlu, kita sekalian pindah rumah"

"T—tapi kenapa? Hiks, kenapa buna p—pengen Juwan pindah sekolah? Juwan udah nda diledekin Ni-ki. Kemalen Uwoo lapolin Ni-ki ke buna nna Ni-ki. Pas buna nna Ni-ki jemput Ni-ki, buna nna Ni-ki malahin Ni-ki telus Ni-ki minta maaf thama Juwan kalena udah ledekin Juwan"

"Bukan itu masalahnya Kim Junghwan!" lagi. Doyoung tidak dapat mengontrol emosinya.

Matanya terasa panas dan siap untuk menangis. Terutama setelah melihat putranya menantapnya dengan pandangan terkejut.

DAD | HaruBby Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang