Ide gila. Aku tahu perbuatan ini sungguh gila! Maksudku, hanya orang sinting saja yang berani menggusik macan yang sedang tidur. Namun, hei! Aku punya alasan khusus. Alasan baik pula. Keberadaanku terancam dan aku butuh sokongan. Ibaratnya sebelum terjun ke medan perang perlu bala bantuan. Nah ada Dimitri. Dia antagonis-makmur-kaya-raya. Lawan sempurna bagi Rafael Verday. Oke, AKU SIAP BERBUAT TIDAK TAHU DIRI. SIAP. IKUZOOO!
“Pokoknya aku bakalan nungguin kamu di depan rumah!” seruku dengan semangat meluap-luap. “Jangan menantang karena aku siap berperang. Sekarang atau tidak sama sekali, Dimitri Axton.”
Teman-teman sekelas pasti tengah menyamakanku dengan monyet yang berusaha bergelantungan di lengan beruang. Lengan memeluk pinggang, pipi menempel di seragam Dimitri. PERFECTO.
“Kamu nggak tahu malu,” kata Dimitri. Meski begitu dia tidak berusaha melepaskan pelukanku. Sama sekali. “Apa kamu nggak bisa bersikap normal?”
Melalui ekor mata, aku bisa melihat Jessica yang tampak pucat pasi. Sepertinya dia hendak menyelamatkanku dari amukan Dimitri, tapi ... aduuuuuh dia sendiri juga takut!
“Enggak,” jawabku, tegas. “Kamu tahu? Kamu itu bahtera penyelamatku,” cerocosku tanpa sensor. “Tanpa dirimu aku akan tenggelam, Dimitri SAYANG.”
Begitu kata sayang terucap, ada perubahan pada diri Dimitri. Entah aku yang tengah berhalusinasi atau jantung Dimitri berdebar kencang? Yang jelas telingaku bisa mendengar suara debaran dug, dug, dugdug, DUG semacam itu. Bunyi jantungku sih beda dong. Dug, dug, DUAR! Ini suara debaran jantung orang yang berharap bisa selamat dari ancaman tokoh utama.
“Mau, ya?” aku membujuk, kali ini menggelengkan kepala ke kanan dan kiri, tidak lupa menekankan pipi agar Dimitri bisa merasakan “sengatan”. Metode ini aku pelajari dari Diana di salah satu bab. Ada adegan Diana sengaja “menempelkan” dadanya ke dada Dimitri ketika dia ingin merayu. Hohoho sekarang akan aku tiru dan aplikasikan.
“E-enggak,” Dimitri menolak.
Cih keras kepala!
Sekarang anak-anak mulai bisa menguasai diri. Mereka mengabaikan kami, aku dan Dimitri, karena yakin Dimitri tidak akan lepas kendali dan memukuliku. Masing-masing murid pun bergegas meninggalkan kelas.
“Dimitri....” Aku mendongak, berharap ekspresi imut milikku bisa menggoyahkan ketetapan hatinya. “Ajari aku, ya? Kan jarang-jarang ada cewek semanis diriku? Mau, ya? Pokoknya nanti di masa depan aku akan membalas jasamu.”
“Memangnya apa yang bisa ditawarkan Bloom kepada Axton?”
“Aku berencana mendirikan kafe imut,” jawabku dengan nada riang. “Nanti, kamu dapat diskon kalau mampir ke kafe milikku.”
“Nggak tertarik.”
“Hei jangan begitu,” aku merengek. “Bagaimana kalau aku akan buatin bekal untukmu? Pokoknya selama kamu mau ngajarin aku, maka aku akan memasak menu penuh cinta.”
Permisi, sebenarnya aku juga ingin muntah. HOWEK.
Mau bagaimana lagi? Antara mempertahankan reputasi sebagai “murid normal” versus masa depan aman? Ya jelas dong pilihanku!
“Kamu suka?” tanyaku sembari mengedip lucu. “Dimitri, ayolah jangan dingin begitu. Apa kamu nggak takut ada meong yang gigit pantatmu kalau kamu kejam?”
Ujung bibir Dimitri sedikit terangkat. Barangkali dia hendak menertawakan leluconku (yang tidak lucu), tetapi menahan diri.
“Oke,” katanya. “Kamu buat bekalku dan kita bisa memulai bimbingan belajar di jam istirahat kedua.”
“Yeiy!” seruku gembira. Kali ini aku bersedia melepaskan Dimitri dan langsung meloncat-loncat sambil mengangkat kedua tangan. “JANJI NGGAK BOLEH DIBATALKAN! DEAL!” Aku meraih permen di saku kemudian menyerahkannya ke telapak tangan Dimitri (yang aku tarik secara paksa). “Uang mukanya!”
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN'S LOVER (SELESAI)
FantasyPada kehidupan kedua diriku terlahir sebagai seorang wanita bernama Renata Bloom. Awalnya aku sama sekali tidak menyadari telah masuk ke dalam salah satu novel dewasa dengan banyak bumbu tragedi dan sensualitas. Hei, apa salahnya membaca roman dewas...