3. Dimitri, Kamu Nyebelin

10.7K 1.7K 55
                                    

Bel istirahat berdering. Tanda berakhirnya masa hukuman merangkap waktu berkontemplasi. Guru sejarah yang namanya mengandung huruf M alias aku belum bisa mengingat identitasnya pun langsung kembali ke ruang guru. Itu pun dia masih menyempatkan diri memberi wejangan: “Renata, kamu harus bisa mengejar ketertinggalan. Ibu nggak mau melihat nilaimu berada di bawah rata-rata. Tolong berusahalah membenahi diri.” Semacam itu, kurang lebih. Kemudian dia meluncur pergi begitu saja seolah puas dengan kepatuhanku dengan jawaban: “Iya.”

Awalnya aku berencana mendekati Dimitri dengan niat “sok kenal sok dekat”. Namun, rencana tinggal rencana. BYE. Dia sama sekali tidak memberi kesempatan. Begitu aku akan mendekat, dia memilih keluar dari kelas. Tidak ada ucapan: “Hei, Renata. Sebaiknya kita mulai bimbingan belajar.” No. Tidak ada kata-kata basa-basi-basi sama sekali. Keberadaanku di mata Dimitri tidak ada bedanya dengan hantu.

Andai Jessica, temanku, tidak mengajakku pergi ke kantin, mungkin sekarang aku akan merana dan menangis dan menyalahkan diri sendiri dan mulai minta izin pulang ke rumah.

Bicara mengenai Jessica. Setelah lulus kuliah dia mulai membuka usaha di luar negeri. Sukses besar. Dulu aku sempat berusaha minta tolong ke dia, tetapi entah mengapa tiba-tiba bantuan dari Jessica terhenti. Setelah aku mencari tahu lebih dalam ternyata bisnis Jessica mengalami masalah. Di kemudian hari, setelah Diana menceritakan keberadaan Rafael kepada keluargaku, barulah aku tahu bahwa Rafael menyabotase usaha Jessica.

Si tokoh utama yang satu ini benar-benar keterlaluan. Hanya baik kepada Diana. Ya aku paham hukum “di mataku hanya ada tokoh utama saja”, tapiiiii halo biarkan aku hidup! Bukan aku yang menghancurkan Verday, itu Kakek. Dia dong yang wajib menanggung karma!

“Re, gila kamu!” Jessica mengaduk bakso yang telah ia bumbui dengan saos pedas dan kecap. “Dimitri? Bisa-bisanya kamu kepikiran cari perhatian ke Dimitri? Apa nggak ada cowok yang lebih sehat selain dia? Dimitri Axton?”

Meski ada semangkok mi bakso di depanku, tetapi nafsu makan telanjur kandas dan sulit dibujuk. Padahal biasanya aku paling senang menikmati makanan berkuah dengan tambahan saos pedas. Sayang kali ini pikiran mengenai Rafael dan masa depan membuat selera makanku anjlok.

“Dia nggak pernah suka dekat dengan siapa pun,” Jessica melanjutkan. Dia menyuap sebutir bakso ke mulut, mengunyah, lalu setelah menelan barulah ia melanjutkan sesi ceramah. “Nggak ada anak sekelas berani sok dekat. Kamu? Re, ada apa?”

Andai saja aku bisa bercerita, “Jes, sebenarnya beberapa tahun lagi Bloom akan mengalami kebangkrutan. Semua usaha akan gulung tikar. Hanya ada satu Bloom yang aman, Diana Bloom. Aku akan jadi budak kapitalis (lagi) dan mati.”

Tentu Jessica tidak akan percaya. Dia akan bilang, “Re, itu hanya mimpi. Kamu pasti kebanyakan baca novel horor, makanya sampai kebawa mimpi.” Seperti itu. Ini karena aku mengenal Jessica sebagai pribadi demikian. Bahkan ketika aku mengomel karena sempat mimpi buruk pun hanya ditanggapi dengan ucapan sejenis itu. Sungguh buang-buang waktu.

“Jes, aku butuh bantuan.”

Jessica meletakkan sendok di mangkuk. “Jangan bilang kamu butuh nasihat mendekati Dimitri?”

“Tepat sekali,” kataku membenarkan dugaan Jessica. “Bagaimana cara mendekati Dimitri Axton?”

“Rere, temanku yang baik. Dimitri sering menyendiri di perpustakaan. Kesempatan mendekati cowok sekelas Dimitri itu bisa dibilang hanya ada nol persen.”

Aduh!

Apa hanya Diana Bloom saja yang boleh memorakporandakan perasaan Dimitri?

Mohon maaf, Diana akan tetap selamat walaupun tidak memasukkan Dimitri ke dalam kolam ikan harem miliknya. Berbeda denganku yang akan jadi ubur-ubur kering di tangan Rafael! Apabila aku mewarisi keseksian Bloom walau sedikit saja, sudah pasti akan kurayu Rafael. Masalahnya aku mungil! Bahkan di sekolah pun hanya aku yang terlihat seperti liliput! Semua anak memiliki tampilan bagai model. Semua, kecuali aku.

Tokoh sampingan. √

Tampilan biasa saja. √

Jomlo sampai akhir. √

Tinggi.... Aku sadar diri. Terima kasih.

“Jes, kamu bilang Dimitri ada di perpus, ‘kan?”

“Renata, jangan.”

Aku tidak mendengarkan larangan Jessica. Langsung meluncur ke TKP, perpustakaan.

*

Dimitri tidak ada di perpustakaan.

Aku sudah berusaha mencarinya di kelas, taman, bahkan di setiap tempat yang terpikir olehku. Hanya ketika jam pelajaran saja kami bertemu dan dia BENAR-BENAR TIDAK MEMEDULIKANKU. Baginya aku ini tidak penting.

AHAHAHAHA bagaimana ini? Nasibku ada di tangan Dimitri. Dia sih enak. Masa depan terjamin, bisa menikmati belaian wanita mana pun, dan tidak perlu menyusun rencana membentengi diri dari rencana jahat Rafael. Namun, aku berbeda. Tidak ada kartu VIP “karakter yang satu ini nggak boleh dihancurkan”. Tidak ada.

Aslinya aku juga malu! Bila ada pilihan mudah dan aman, maka dengan senang hati akan kulakukan. Sayangnya pilihan lain tidak memberi keamanan dari tangan Rafael!

ARGH aku ingin menggigit Dimitri. SAAT INI JUGA!

Guk, guk, guk. GRAW.

Sepanjang perjalanan aku tidak bisa berkonsentrasi. Selalu memperhatikan Dimitri YANG TERNYATA duduk di sampingku. Oh oke hanya terpisah beberapa bangku. Idih karakter satu ini. Jangan pikir aku akan mundur begitu saja! Tidak!

Lantas ketika bel pelajaran berdenting dan saatnya pulang, aku langsung memotong jalan pelarian Dimitri. “Hai!”

Dimitri tampak menjulang di hadapanku. Dia tidak menampilkan ekspresi apa pun selain ... biasa saja? Aih aku benci merendahkan diri, tapi mau bagaimana lagi?

“Minggir,” kata Dimitri.

Anak-anak mendadak diam. Ada beberapa di antara mereka ada yang menganga, terperangah.

Oke, ini ide GILA!

“Dimitri, kamu diberi tanggung jawab membantu menaikkan nilai mata pelajaran sejarah.”

Wow. Wajah Dimitri bukan main. Aku tidak bisa menggambarkan ketampanan Dimitri dalam kata-kata. Oke, dulu aku sibuk memikirkan sekolah dan memperbaiki nasib dengan cara bisnis. Aku yang salah. Aku. Dimitri.... Tidak bisa aku bayangkan dengan wajah indah dan tubuh (yang ketika SMA saja sebagus ini) ... maksudku, Diana bisa menikmati Dimitri sepuasnya!

ARGH. Aku akan mencuri Dimitri! Dengan cara apa pun!

“Nggak ada urusannya denganku,” potong Dimitri, dingin. “Kamu harus bertanggung jawab dengan nasibmu, bukan orang lain.”

OUCH. Hatiku tertusuk kata-kata Dimitri. Sakit.

“Iya,” aku membenarkan. “Namun, enggak ada salahnya menolong orang lain.” Sebelum Dimitri menyerangku dengan ucapan dingin, aku buru-buru berkata, “Kalau kamu menolongku, maka aku akan membantumu di masa depan.”

“Aku nggak butuh pertolongan dari siapa pun.”

Dimitri hendak melenggang pergi, tetapi aku melingkarkan lengan ke pinggangnya dan OH INI MEMALUKAN. Teman-temanku, terutama Jessica, terlihat pucat seolah ingin menyingkirkanku dari Dimitri tapi mereka pun juga takut.

“Hei, aku butuh pertolonganmu. Serius! Ini darurat!”

“Lepas,” kata Dimitri, dingin.

Berbeda dengan perkiraanku, Dimitri tidak menyikut maupun memukulku. Dia hanya diam dan ... bertahan? Entah!

“Dimitri Axton, KALAU KAMU NGGAK MAU NGAJARIN AKU, MAKA AKU BAKALAN NEROR KAMU SAMPAI RUMAHMU!”

“...”

“Kalau perlu aku tungguin di depan pintu.”

Serius!

***
Selesai ditulis pada 17 Agustus 2022.

Halo, semoga ketika membaca tulisan ini kalian akan merasa bahagiaaa. Tulisan ini nggak ditujukan untuk sastra dll. Murni hanya untuk bersenang-senang. Huhuhu.

I love you, teman-teman.

Salam hangat,

G.C

VILLAIN'S LOVER (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang