Akhir-akhir ini aku disibukkan oleh kegiatan bolak-balik antara La Beauty dan urusan menjauhi panggilan dari Diego Bloom. Padahal dia sendiri yang memintaku, oh salah, menyuruh kami lekas hengkang dari Bloom tanpa memberi sepeser pun pesangon. Bahkan pekerja swasta yang terkena PHK pun setidaknya masih mendapat pesangon atau ganti rugi (asal perusahaan tersebut bermain bersih). Namun, Bloom iniiiii, si Diego Bloom tidak peduli! “Pergi!” Barangkali begitulah teriaknya kepada Samuel.
Aku sih tidak keberatan dicoret dari kartu keluarga Bloom. Lagi pula, mereka akan segera menyongsong kemiskinan. Cukup sekali merasakan hidup serbasusah pada era kapitalis. Cukup sekali berjuang mengais sekeping koin di lingkungan pemburu nafkah bermental kepiting. Ya pokoknya sekali saja deh! Sekarang aku yang pegang kendali atas nasib. Tidak perlu ada campur tangan Diego Bloom.
“Sampai kapan kamu mau melarikan diri dariku, Renata?”
Sayang rencana kadang bisa bolong juga meskipun sudah kujahit dengan rapat. Astaga! Mengapa masih saja ada celah bagi pengganggu rencana hidup makmurku? Seperti Diana! Dia pantang menyerah. Seperti saat ini. Entah dari mana dia berhasil mengetahui jadwal kerjaku. Kebetulan siang ini aku berencana mengunjungi salah satu butik kenalan Jessica yang konon bukan hanya menjual pakaian, melainkan sejumlah kerajinan tangan berupa sulaman dan rajut. Aku ingin membeli beberapa produk dan menawarkannya kepada Fernando Mahin sebagai contoh untuk hiasan di La Beauty.
Akan tetapi, rencana belanjaku gagal total. Sekarang aku terjebak di area parkir. Diana membawa dua pengawal berpakaian serbahitam dan mengenakan kacamata serupa. Pemilik butik belum sempat aku temui. Aduh, kemungkinan harus membuat jadwal temu yang baru pun membuat kepalaku dilanda pusing. Sialan!
Berbeda denganku yang mengenakan celana jins dan kaos lengan panjang bergambar mawar, Diana terlihat menawan dalam balutan dress berpotongan rendah. Tidak tanggung-tanggung, warna yang ia pilih pun adalah merah—menantang!
‘Ih kenapa kamu nggak muncul di depan Rafael saja sih?’ gerutuku dalam hati. ‘Dia pasti akan langsung menyeruduk dirimu seperti banteng dalam acara matador. Seruduk bonus peluk pula! Apa gunanya muncul di hadapanku?’
Diana melipat tangan di depan dada, ekspresi yang terlukis di wajah pun kurang sedap dipandang mata alias GALAK. “Kita perlu bicara,” katanya menegaskan, “berdua.”
“Berapa kali harus aku jelaskan kepadamu, Diana. Aku nggak tertarik melakukan bisnis apa pun denganmu. Apa kamu lupa? Sekarang margaku bukan Bloom.”
“Bukan itu yang aku butuhkan darimu,” ucapnya sembari menggeleng pelan. Bahkan ketika melakukan gerakan ringan itu saja di mataku terlihat seksi. Itu terbukti dari beberapa cowok yang kebetulan berseliweran di sekitar kami sempat tersandung ketika menengok ke arah kami. “Saat ini Bloom sedang dalam masa kritis.”
“Mohon maaf,” aku menyela. “Urusan bisnis bukan termasuk dalam kompetensiku. Iya, aku punya usaha. Namun, beda cerita dengan mengatur sejumlah manusia untuk mencari keuntungan dalam jangka waktu sebulan. Aku nggak bisa. Kamu salah orang.”
“Renata, kami nggak butuh pertolongan semacam itu.”
“Oooh. Jadi, apa kamu berharap aku ikut masuk ke dalam mobil dan mendengarkan permintaanmu yang bisa saja aku tolak sekarang? Begini, ya. Aku sibuk. Ada banyak urusan yang perlu diselesaikan olehku.”
“Setop.” Diana mengangkat tangan, elegan pula! “Kita perlu bicara di tempat yang lebih pantas. Area parkir jelas tidak cocok dijadikan sebagai tempat diskusi bagi kita berdua.”
“Kita bisa bicara di sini atau tidak sama sekali,” aku mengancam. “Diana, kamu ingin aku putus dari Dimitri? Jawabanku masih sama: Tidak. Kecuali, oh tentu saja ini hanyalah sekadar pengecualian, Dimitri sendiri yang menghendaki.”
Bisa saja Diana menyuruh kedua penjaga yang berdiri di belakangnya menyerangku. Namun, sejauh ini mereka hanya diam saja—sama sekali tidak maju maupun membentakku.
“Kamu tahu Bloom sedang dipertanyakan oleh publik,” katanya dengan suara yang terdengar bergetar. “Aku ingin kamu membujuk Rafael Verday agar mundur dan melepaskan Bloom. Jangan menyangkal kamu nggak kenal dia, Re. Aku tahu bahwa kamu bekerja sama dengan dia!”
‘Bantu enggak, ya? Bantu enggak? Ya, enggak dong.’
Permisi. Aku pernah berada pada posisi yang jauh lebih seram daripada Diana Bloom. Orangtuaku kehilangan pekerjaan, kami terpaksa tinggal di rusun jorok, dan menderita kelaparan. Apa yang Diana lakukan? Tidak ada. Dia sibuk menenangkan mahkluk buas dalam diri Rafael Verday dengan cara jumpalitan di atas ranjang dengan berbagai gaya! Padahal dulu aku sempat memohon bantuan, sebelum Bloom sekarat, agar memberi Samuel pekerjaan baru. Diana dan Diego tidak mau memberi pertolongan!
Ini bukan balas dendam! Tidak!
Pilihan yang kuambil murni berdasar logika belaka. Walau ada Dimitri di belakangku, mustahil meredakan kemarahan Rafael Verday. Jangan lupakan orang-orang yang ingin kulindungi dari cengkeraman Rafael! Jessica, Samuel, Evelyn, dan Denisa. Mereka orang-orang baik. Diana bisa dan pasti mampu menjerat Rafael dalam nafsu. Oh aku tidak peduli apa pun nama jurusnya.
“Kamu tahu aku bekerja dengan kerabat Rafael Verday?” tanyaku sekadar basa-basi belaka, tidak membutuhkan jawaban. “Diana, lupakan saja. Aku nggak memiliki kapasitas membujuk siapa pun selaian sayangku, Dimitri. Itu pun ada batas. Dia jelas tidak suka bila aku bergaul denganmu. Maka, akan kupatuhi permintaan Dimitri.”
“Re, kamu nggak tahu seberapa keji Rafael Verday!”
Di kedua mata Diana terlihaat pendar-pendar kemarahan. Entah seberapa jauh Rafael beraksi, yang pasti itu berhasil membuat Diana merasa terancam.
“Dia tidak memiliki setetes pun kebaikan untuk kita,” lanjutnya menjelaskan betapa penting mematuhi Diego Bloom alih-alih mempertimbangkan keselamatan diri sendiri sebagai tokoh sampingan yang berhasil naik pangkat. “Kita semua akan binasa, Re. Tidak ada jalan keluar. Kamu sebaiknya mempertimbangkan Flaus, Re. Axton tidak bersedia bergabung dengan kita dan kamu tahu sendiri kehidupan liar para pebisnis muda yang sukses. Apa kamu bisa menjamin Dimitri tidak akan berpaling kepada wanita lain? Re, Deon jauh lebih bisa menjamin kebahagiaan sekaligus keberlangsungan Bloom.”
Sialan! Tuh, ‘kan! Diana pasti ujung-unjungnya menyuruhku melepas harta karunku! Dimitri diganti Deon? HEOL! NO! NO! NAY! Dalam seratus atau ribuan tahun pun aku tidak mau!
“Ternyata memberimu waktu diskusi itu benar-benar percuma, ya?” ucapku dengan kepahitan plus kegetiran: Sungguh menggelikan. “Kamu sama sekali nggak paham.”
Diana?
Oh bagaimana bisa orang seperti Diana menjadi tokoh utama? Apa penulis, setidaknya, tidak mempertimbangkan mengenai nilai moral? Maksudku, apa dia hanya ingin memberi pelajaran seperti ini:
“Selesaikan masalah dengan tubuhmu!”
Tubuh? Iya, tinggal goyang pinggul cantik. Selesai. Tidak perlu memikirkan mengenai solusi lain yang bisa saja menyelamatkan sederet orang. Yuhuuuu, enak sekali.
“Berbicara denganmu sungguh membuang waktu,” kataku, kecewa. “Jangan cari aku lagi.”
Segera saja aku berjalan menjauh, mengabaikan panggilan Diana, dan langsung masuk ke dalam butik.
Bye, Diana!
Selesai ditulis pada 1 Oktober 2022,
:”) Uhuuuuu nggak kerasa sudah Oktober, ya. Hehehehe. Sekarang saya bisa benar-benar memusatkan perhatian kepada tulisan dan kelanjutan naskah. Sungguh September yang penuh dengan tugas. :”) Tolong doakan saya konsisten menulis dan nggak menggantungkan cerita, ya? I love you, teman-teman.
Salam hangat,
G.C
P.S: Spoiler terbaru Villain’s Lover “Awal Keruntuhan Bloom” dan “Gelapnya Sebuah Dendam” sudah terbit di KaryaKarsa. Huhuhu. Love you, teman-teman.

KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN'S LOVER (SELESAI)
FantasíaPada kehidupan kedua diriku terlahir sebagai seorang wanita bernama Renata Bloom. Awalnya aku sama sekali tidak menyadari telah masuk ke dalam salah satu novel dewasa dengan banyak bumbu tragedi dan sensualitas. Hei, apa salahnya membaca roman dewas...