23. Aku Ada Untukmu (Apa Kamu Sandaran Hidupku, Dimitri?)

8.1K 1.5K 43
                                    

La Beauty lumayan ramai. Aku dan Denisa cukup kewalahan menghadapi satu demi satu pembeli yang rasa-rasanya tidak ada habisnya. Cukup mendebarkan huh? Bekerja dengan tetap menjaga keprofesionalitasan di saat tubuh rasanya remuk redam dan lelah bukan main. Tetap memasang senyum meski sebennarnya tenaga untuk menampilkan seulas senyum itu rasa-rasanya hampir tidak ada sama sekali? Yeah, begitulah. Begitu terjun dalam dunia kapitalis terlepas sebagai pekerja lepas maupun pemilik usaha kecil pun mungkin mengalami hal serupa. Namun, tidak masalah. Aku bisa membujuk diri sendiri agar tetap bekerja sesuai jadwal.

Beberapa kali Denisa mondar-mandir dari dapur ke stan karena persediaan kue ludes. Begitu sampai di jam terakhir, saat tutup, aku dan Denisa pun harus menyelesaikan kue untuk esok.

“Denisa, mungkin kita nggak akan kelabakan seperti ini lagi.”

“Tolong jangan bilang La Beauty akan tutup selamanya?!” pekik Denisa. Dia hampir saja menjatuhkan peralatan masak. Dapur terasa sumpek dan memang sudah saatnya aku memikirkan tawaran salah satu pengunjung. “Kuliahku masih panjang semesternya....”

“Kamu bicara apaan sih?” Aku membantu Denisa memasukkan seluruh perlengkapan masak yang sudah dilap dan dikeringkan ke dalam lemari mungil. “Nggak. Tahu, ‘kan, tadi ada bapak-bapak yang minta ketemu?”

Denisa mengangguk. “Jangan bilang beliau adalah tukang tagih utang!”

Imajinasi Denisa kadang membuatku waswas. “Bukan,” koreksiku sembari merengut. “Dia menawarkan kerja sama. Bisnis, Denisa.”

“Oooooh.”

Kali ini Denisa tidak seperti sebelumnya, mengira aku akan bangkrut, dan mulai bisa bekerja secara normal. “Hampir saja aku kena serangan jantung!”

Aku pun menjelaskan mengenai rencana pindah. Kafe, tawaran bekerja dan mengelola bisnis yang lebih besar, pokoknya semua hal menjanjikan.

“Apa tidak mencurigakan?” tanya Denisa. Kami sudah menutup La Beauty dan mampir di salah satu kedai mi yang kebetulan aku pernah aku singgahi bersama klien yang menawariku kontrak kerja sama membangun kafe. “Bisa saja ini penipuan! Jangan langsung percaya begitu saja. Bisa-bisa menyesal di kemudian hari.”

Di meja tersaji mi pedas dan teh hangat. Denisa hampir menandaskan mi sementara aku baru separuh saja yang masuk ke perut. “Nggak sih,” jawabku, santai. “Beliau ini punya nama baik. Fernando Mahin. Aku sempat cari biodatanya di internet sih. Wow kamu tahu enggak kalau Fernando Mahin ternyata pemilik salah satu usaha kuliner terkenal? Bekerja sama dengannya tidak ada ruginya.”

“Kok orang sekaya itu nggak ... apa, ya, mengundang keingintahuan orang? Pasti dia wajahnya nggak asing dong? Ini dia nggak ada sama sekali kesan ‘orang kaya dengan aset segunung’. Aneh ah.”

“Mungkin dia memang tidak suka mengumbar informasi pribadi saja. Lagi pula, aku sudah kirim salinan kontrak ke temanku yang paham urusan hukum kok. Dia sendiri yang meyakinkanku bahwa orang yang aku temui memang Fernando Mahin, bukan fotokopian. Hihihi.”

“Kadang aku nggak paham dengan kalian, para orang kaya!”

“Aku anggap kamu sedang mendoakanku jadi orang kaya.”

Tepat pukul sebelas malam kami meninggalkan kedai dan langsung pulang.

Awalnya aku ingin langsung mandi, ganti baju, dan tidur! Namun, begitu melihat ada mobil asing terparkir di halaman ... oh perasaan waswas pun datang menghampiri. Dalam hati aku mulai berdoa dan sungguh berharap bahwa tamu yang hadir itu bukan orang jahat ataupun asisten Diego Bloom yang menyatakan kami bangkrut.

Pelayan tidak mengatakan apa pun. Ah biarkan saja. Aku langsung menuju ruang tamu, sekadar memastikan gerangan yang menyambangi kami, dan....

“Dimitri?!”

VILLAIN'S LOVER (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang