Drama. Untung hanya kebagian jadi pohon. Apa jadinya bila aku harus menghafal dialog yang jumlahnya lebih dari sepuluh halaman? Bisa-bisa tertukar antara act 1 dengan act 3 atau yang terburuk: Tidak ada satu kalimat pun yang menempel di otak alias “oh yeah, aku nggak bisa”! Berhubung seminggu penuh kegiatan didominasi oleh acara ulang tahun sekolah, maka kegiatan belajar pun hanya aktif pada Senin sampai Rabu, sementara Kamis hingga Sabtu full dirampok kegiatan persiapan pentas seni, lomba, dan bazar.
Bicara mengenai drama. Oh drama yang menceritakan sesuatu mengenai cinta dan semacamnya. Pentas drama diadakan pada hari Kamis, tepat pada pukul 11. Sekolah mengundang orangtua dan mempersilakan orang luar menikmati hajatan selama Kamis sampai Sabtu.
Tentu dengan catatan.
Satu, membawa undangan. Wali murid yang ingin menonton drama dipersilakan hadir dengan membawa undangan. Aku sih berharap Samuel dan Evelyn tidak perlu datang. Lagi pula, kenapa sih mereka perlu datang? Hahaha ternyata begitu mereka menerima undangan dan mendengar ceritaku terkait peran “penting” sebagai pohon penjaga ekosistem lingkungan, mereka justru tertarik.
“Wah, Mama harus ikut menonton drama,” Evelyn menyuarakan ide brilian. “Mama akan merekam dan mengabadikan setiap momen!”
Padahal nggak usah! Nggak perlu! Tidak ada pentingnya menontonku sebagai pohon yang kerjanya cuma serong kanan dan serong kiri ketika topan menerjang.
Dua, masuk ke area sekolah melalui jalur tiket. Iya, memang demikian. Orang luar dipersilakan membeli tiket masuk dan menikmati festival seni yang diadakan sekolah. Tinggal pilih. Ada bazar makanan, buku, pakaian. Oh jangan lupakan pameran seni. Pokoknya sekolahku jelas merancang kegiatan yang hasil penjualannya nanti akan disumbangkan ke sejumlah tempat. Tentu saja kami menyambut baik ide tersebut.
Oke, kembali ke drama. Sekarang aku tengah mengenakan kostum pohon. Hanya wajahku saja yang kelihatan sementara yang lain tertutup kostum. Kedua tanganku memegang dahan buatan lengkap dengan daun. Kepala dihiasi topi daun. Sempurna.
“Rere, sini,” Jessica memanggil. Dia terlihat ceria dan tidak henti-hentinya mengambil foto. “Coba senyum dan bilang apel!”
Hmmm Jessica perlu kena gampar.
Oh sebenarnya bukan hanya Jessica saja, melainkan sejumlah teman sekelasku pun ikut-ikutan mengambil foto.
“Re, angkat dahannya dong.”
“Dih manisnya.”
“Sini, Re. Aku culik!”
“Siapa yang nyuruh bocah SMP meranin pohon sih?”
“Karungin Renata deh!”
Baiklah, aku akan menganggap respons mereka sebagai cinta.
Berhubung harus segera naik ke panggung bersama pohon lainnya, pikiran ini harus fokus pada profesionalitas sebagai pohon. Siapa tahu Dimitri sedang menontonku dari suatu tempat. Maka dari itu, jangan sampai dia terpikat cewek lain! Harus jadi pohon cantik. Cantik!
Pentas pun dimulai dengan adegan pertarungan antara kesatria A melawan kesatria B. Mereka bertempur memperebutkan perhatian seorang putri. Aku dan pohon lainnya hanya menggerakkan tangan seolah tengah memperagakan hutan keramat yang ingin mengeluarkan koleksi jin dan hantu.
“Huuuuu! Huuuuu!” teriakku bersama pohon lainnya.
Oke, aneh sih ada pohon bersuara, tetapi abaikan saja.
Beberapa kali aku menangkap basah Evelyn dan Samuel yang tersenyum memperhatikan aktingku. Bukan main. Samuel merekamku menggunakan kamera mahal! Bapak-bapak yang satu ini tidak tahu saja bahwa putrinya terpaksa jadi pohon karena kalah undian!
![](https://img.wattpad.com/cover/319161666-288-k510008.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN'S LOVER (SELESAI)
FantasyPada kehidupan kedua diriku terlahir sebagai seorang wanita bernama Renata Bloom. Awalnya aku sama sekali tidak menyadari telah masuk ke dalam salah satu novel dewasa dengan banyak bumbu tragedi dan sensualitas. Hei, apa salahnya membaca roman dewas...