8. Pertaruhan Awal

8.7K 1.7K 156
                                    

Minggu yang dijanjikan pun tiba!

Evelyn dan Samuel terkejut ketika tepat pada pukul 9 pagi sopir dari keluarga Axton datang. Setelah aku menjelaskan mengenai pertemananku (yah untuk sekarang Dimitri dan aku masih di zona teman, tetapi di kemudian hari hohoho dia akan jatuh ke pelukanku) dengan Dimitri, maka mereka baru bersedia mengizinkanku berkunjung ke kediaman Axton.

Berhubung ini acara penting, maka tidak tanggung-tanggung aku berdandan. Atasan lengan panjang bermotif kupu-kupu aku padukan dengan bawahan berupa rok sepanjang lutut. Jenis rok yang berbahan ringan dan tidak ketat. Sepasang sepatu bertumit datar warna cokelat muda pun menjadi pilihan utama. Untuk rambut, aku kucir menjadi setengah bagian dan mengikatnya dengan pita merah. Riasan aku hanya mengenakan pelembap dan tabir surya, sementara bibir dipoles dengan pelembap beraroma ceri.

Sempurna.

Di dalam mobil aku sengaja mengirim foto kepada Jessica lengkap dengan detail pesan berupa:

[Jes, sebentar lagi aku akan menemui calon suamiku.]

Balasan dari Jessica tiba tidak lama kemudian.

[RENATA, JAUHI DIMITRI. DIA BUKAN COWOK AMAN!]

Padahal Dimitri jauh lebih aman daripada Rafael. Di novel Rafael selalu tidak bisa membedakan kemarahan dan kecemburuan, langsung serang, langsung tindih, langsung hunjam bertubi-tubi. Adegan yang digambarkan pun mampu membuat wajahku merona seperti udang rebus.

Tidak seperti Rafael, sekalipun Dimitri cukup liar (ayolah, semua novel sensual khusus perempuan dewasa memang kadang terlalu pedas) hubungan badan hanya akan terjadi karena beberapa hal yang mayoritas karena provokasi dari Diana.

Semisal pada adegan ketika Diana patah hati karena Rafael memutuskan mengabaikannya selama beberapa waktu. Diana memilih mabuk di sebuah bar. Kurang ajarnya dia mengirim pesan kepada Dimitri agar menjemputnya. Karena Dimitri tipikal sekali jatuh hati maka akan mengutamakan pasangan, maka dia pun menjemput dan membawa Diana ke apartemennya.

Apa yang terjadi?

HAH BEGITULAH. Diana yang terpengaruh oleh alkohol pun merayu Dimitri. “Bantulah aku,” katanya dengan tatapan mata nanar dan senyum yang terlihat pedih. “Tolong bantu aku melupakan Rafael Verday.” Usai berkata demikian Diana pun menjatuhkan kecupan di bibir Dimitri. Semua terjadi begitu saja, dimulai dari rayuan manis Diana dan berakhir di ranjang dengan lenguhan Diana sepanjang malam. (Oke, aku tidak perlu menggambarkan adegan keringat bercucuran, entakan, napas terengah, dan dekap manja. Cukup untukku saja! HAHAHAHA!)

ARGH BERIKAN DIMITRI KEPADAKU! Biar aku saja yang memanjakan Dimitri. Aku sanggup memasak apa pun asal ada bahan dan media! Biarkan Diana dan Rafael menyelesaikan percintaan mereka tanpa mengganggu masa depanku.

Oleh karena itu, aku terpaksa mengabaikan peringatan Jessica. Aku sengaja mengheningkan ponsel agar tidak perlu mendengar berondong pesan kiriman Jessica. Semua ini perlu aku lakukan. Maksudku, mendekati Dimitri. Demi melindungi Jessica dan keluargaku. Bloom yang lain? Masa bodoh. Mereka boleh hancur. Aku tidak mungkin bisa mengirim sekoci ke setiap kepala keluarga. Lagi pula, keluarga Bloom juga tidak terlalu ramah kepada ayahku. Tidak ramah bintang satu saja deh.
Tidak lama kemudian aku pun sampai di....

WAHAI MATAKU, APAKAH SEKARANG AKU ADA DI ISTANA RAJA JIN?

Lantaran terlalu fokus ke “cara merayu Dimitri” aku sampai tidak sadar bahwa mobil telah sampai di tujuan. Kediaman Dimitri benar-benar menggambarkan hunian bangsawan Eropa. Beberapa kali aku mengedip, mengecek kesehatan mata, dan sadar bahwa memang semua yang kulihat itu nyata. Kolam air mancur, deretan pohon cemara yang ditata rapi, bangunan megah, pot bunga, patung, pelayan ... PELAYAN? Maid? Butler? Dimitri terlalu kaya! Apa dia masih berkerabat dengan Stark dan Batman? Jangan-jangan ada bungker yang menyimpan bermilyar uang dan permata!

Sopir membantu membukakan pintu. Aku keluar dari mobil dengan mulut nyaris menganga. Dimitri, dalam pakaian santai, menyambutku. “Mulutmu,” katanya dengan seringai usil.

“Aku nggak ngiler kok!” Lalu, aku mengangsurkan tangan kanan. “Mau cium telapak tanganku? Rasanya aku cocok mewakili lady yang akan bertemu duke muda.”

Dimitri hanya menggenggam tanganku dan menuntunku masuk. “Kamu nggak cocok jadi lady.”

Sofa motif bunga, meja ukir dari kayu jati, lukisan pemandangan alam yang digantung di dinding, dan aku tidak sanggup menggambarkan suasana rumah Dimitri Axton.

“Papa sedang keluar kota,” kata Dimitri. “Hanya ada Mama.”

“Mama?”

Di dapur ada seorang wanita cantik yang mengenakan gaun santai. Dia memiliki rambut seperti milik Dimitri. Pada usianya yang tidak lagi terbilang muda, aku bisa melihat sisa-sisa kecantikan yang masih ada pada dirinya.

“Dimitri, temanmu sudah datang, ya?” tanyanya sembari merapikan bahan makanan. Dia mendatangi kami dan langsung memelukku. “Tante pikir Dimitri bercanda ketika bilang temannya akan datang. Wah kamu manis sekali.”

‘Bilang saja aku pendek, Tante,’ gerutuku dalam hati. ‘Sudah biasa kok. Aku kuat. KUAT.’

“Terima kasih, Tante,” jawabku sembari tersipu.

“Kamu beneran mau masak buat Tante?”

“I-iya. Eh kalau diizinkan, tentunya.”

“Sekarang sok sopan, kemarin nggak gitu,” Dimitri menyindir. Tentu saja aku memelototinya. “Apa?”

“Sudah, abaikan dia.”

Ibu Dimitri menemaniku sepanjang proses memasak. Ternyata dia memang tidak memiliki bakat di bidang mengolah sayuran menjadi makanan alias tidak bisa masak. Namun, aku tidak keberatan. Dengan cekatan aku mengolah jagung menjadi sup dengan tambahan beberapa potong wortel, seledri, dan kubis. Tidak lupa aku memanggang roti dan membuat pencuci mulut berupa es krim dengan potongan buah. Ada daging ayam. Hmmm boleh juga aku olah jadi ayam pedas. Memang bukan paduan yang wajar ... BUT, aku ingin membuat itu!

“Renata, kamu luar biasa,” puji ibu Dimitri. Dia menghabiskan seluruh masakanku. Bahkan ini sudah piring yang kedua! “Kamu berbakat!”

“Hehehe, Tante,” kataku sambil menggaruk pelipis. “Enggak sejago itu kok.”

“Jangan puji dia, Ma,” Dimitri menyela. Dia tengah menikmati es krim dan sekarang sepertinya ingin menenggelamkan diriku dalam kekecewaan. Kurang ajar! Padahal dia pun sudah tambah sup jagung hingga tiga kali! “Nanti dia besar kepala.”

“Re, boleh Tante tahu cita-cita kamu?” tanyanya mengabaikan sindiran Dimitri.

Wah yang satu ini jelas aku punya jawaban. “Ingin kuliah di jurusan yang berhubungan dengan makanan dan gizi. Lalu, mendirikan kafe dengan tema buku. Emm jadi di sana bukan hanya bisa pesan makan dan minum, melainkan membaca. Inginnya sih kafe itu dijadikan pusat bagi pecinta buku. Begitu, Tante.”

“Wah hebat. Tante suka semangatmu. Apa kamu nggak tertarik ambil filsafat atau hukum? Biasanya Bloom selalu mengabdikan diri kepada hal-hal yang amat sensasional. Baru pertama kali ini Tante kenal Bloom yang suka masak.”

Itu karena otak mereka kinclong. Otakku sih karatan. Butuh belaian Dimitri agar tidak rusak lantaran memikirkan metode menjauh dari kejahatan Rafael dan nafsu Diana.

“Saya suka masak dan makan, Tante.”

“Ma, berhenti muji Renata.”

“Kamu serius pengin jadi mantunya Tante? Tante sudah dengar dari Dimitri mengenai pertaruhan kalian?”

DASAR TUKANG NGADU!

Untung aku sedang tidak makan atau minum. Bisa-bisa aku mati keselek dan harus mengulang dari awal.

“Kalau Tante oke sih,” kataku malu-malu, malu-malu tidak tahu diri. “Saya nggak nolak.”

Gitu.

Selesai ditulis pada 23 Agustus 2022.

Halo, teman-teman.

Semoga kalian suka ya dengan bab ini. Tulisan ini murni untuk kepentingan bersenang-senang. YUP! Kita akan santai dan melepaskan beban pikiran. Sudah cukup di dunia nyata saja kita pusing, pas baca Renata saya harap perasaan hati kalian bisa sedikit lebih baik daripada sebelumnya. Love you, teman-teman.

Salam hangat,

G.C

VILLAIN'S LOVER (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang