7. Derita Masa Lalu

8.9K 1.6K 115
                                    

Aku tidak suka harus kembali berkubang dalam kehidupan serba-kekurangan. Harus bersabar ketika menginginkan sesuatu, bahkan sering tidak mendapatkannya. Berada di bawah kuasa orang lain dan rasanya seakan tidak memiliki pilahan untuk diri sendiri. Benar-benar menyedihkan. Sebut saja diriku mata duitan. Namun, ini semua aku lakukan demi melindungi diriku sendiri. Uang memang tidak bisa memberi kebahagiaan sempurna. Namun, setidaknya dengan uang aku bisa menjauh dari Rafael Verday dan Diana Bloom. Hanya itu saja yang aku inginkan.

Sekali, aku menjalani kehidupan miskin pada masa hidup pertama. Sebagai anak perempuan pertama aku dituntut harus membantu perekonomian keluarga. Terlebih orangtuaku bukan tipe suami istri yang bersedia mempertimbangkan jumlah anak. Empat bersaudara dan semuanya perempuan. Terpaksa aku harus melepas impian kuliah sampai tamat dan membiarkan adik keduaku yang kuliah.

Aku bekerja sebagai tenaga kerja asing di Hongkong. Setiap bulan selalu mengirim uang ke rumah. Pada akhirnya adik keduaku berhasil menyelesaikan sekolah di perguruan tinggi.

Apa kehidupan membaik setelahnya?

Ibuku memaksaku membiayai uang pelicin agar adik keduaku bisa magang di salah satu sekolah sebagai pegawai TU. Aneh, seharusnya dia ikut ujian CPNS. Namun, ibuku berpendapat bahwa ujian semacam itu sulit dan lebih mengutamakan gelar “pegawai negeri” saja. Lantas beberapa bulan kemudian seseorang melamar adikku dan, sekali lagi, ibuku menuntut diriku membiayai pernikahan adik keduaku. Tidak sampai di situ saja, aku harus menggelontorkan sejumlah uang untuk biaya pesta dan sewa dekor pengantin.

“Mengapa Ibu tidak meminta uang dari calon mempelai?” tanyaku suatu hari karena tidak sanggup menahan kecemburuan. “Bukankah itu sudah kewajiban pihak mempelai?”

“Kamu ini bicara sembarangan,” kata Ibu. “Mana mungkin dia sanggup membiayai sewa dekor dan tata rias? Kerjanya saja hanya montir di bengkel pinggir jalan. Ibu nggak mau pernikahan nanti berjalan biasa saja.”

“Bu, aku juga harus membiayai sekolah adik ketiga dan keempat. Apa Ibu enggak memperhatikan sampai situ?”

“Itu sudah kewajiban kamu sebagai anak!” bentak Ibu. “Jangan sampai Ibu marah dan kamu jadi anak durhaka! Mau kamu hidup susah karena membuat orangtua sedih?”

Pada akhirnya tidak ada keadilan. Aku selalu mengalah. Atas keinginan Ibu, aku membiayai pembangunan bengkel untuk suami adikku. Lalu, adik-adikku yang lain meminta uang untuk laptop bahkan seragam dan sebagainya.

Mengapa aku tidak lari dan meninggalkan mereka?

Pikiran semacam itu tidak pernah terbersit satu kali pun. Barangkali karena mentalku mlempem. Seorang pecundang yang tidak bisa mengambil alih hidup miliknya sendiri dan membiarkan orang lain mengendalikan sesuka hati. Itulah diriku di kehidupan pertama.

Hingga pada napas terakhir, semua pemikiran mengenai cita-cita sekolah sesuai dengan keinginan hati pun berdesakan dan membuatku sakit hati.

Mungkin itulah yang menyebabkanku berada di sini, sebagai Renata Bloom.

Kesempatan hidup kedua yang sangat aku dambakan. Aku tidak perlu kuliah diam-diam di negara asing dan berbohong mengenai keinginanku. Pokoknya menjadi Renata benar-benar membuat diriku amat bersyukur.

Kemudian Diana Bloom menyadarkanku.

Bahwa sekalipun hidup di dimensi lain, tokoh utama tetap bisa mengancam keselamatanku.

SIALAN!

“Re? RENATA!”

Hampir saja aku terjungkal.

“A-apa?” tanyaku seraya memperhatikan sekitar. Ternyata aku berada di kafe, bersama Jessica. Begitu jam pelajaran usai, kami memutuskan menghabiskan waktu di salah satu kafe kesukaan Jessica. “Eh, es krimku! Meleleh!”

VILLAIN'S LOVER (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang