Seperti biasa, pagi hari di meja makan selalu terdengar cerita yang saling bersahutan. Entah itu dari aku, kakakku atau Bunda yang terkadang mengomeli kami.
Di rumah sederhana ini, kami tinggal berempat. Ada Ayah Angga, Bunda Cintya, kakak keduaku Anggi, aku sendiri Disty, sedangkan kakak pertamaku Mas Tama sedang kerja merantau di luar kota.
Sebelumnya perkenalkan namaku Adisty Anggreani biasa dipanggil Disty. Usiaku sekarang 17 tahun, sedang menempuh kelas 2 di SMA Nusantara. Aku memiliki 2 kakak, satu laki-laki yang saat ini sedang merantau, sedangkan kakak keduaku perempuan Kak Anggi sedang menjalani kuliah semester 4.
"Dek, hari ini lo berangkat sendiri ya, gue buru-buru ke kampus. Ada kuis soalnya."
Aku mengerucutkan bibirku sebal, "Kak Anggi gak bilang dari semalem sih, tahu gitu kan aku bisa nebeng temenku."
"Ya maaf, semalem kakak lupa." ucapnya sambil nyengir tidak berdosa.
"Terus aku gimana dong ke sekolahnya?Kakak kan bisa drop aku dulu di sekolah."
"Gak bisa dek, kakak masih ada tugas juga. Ini aja kakak di jemput sama Romy." Ucapnya dengan wajah yang bersalah.
Inilah yang membuatku kesal, Ayah dan Bunda masih melarangku mengendarai kendaraan sendiri ke sekolah. Setiap kak Anggi gak anter atau jemput aku sekolah, aku harus naik angkot atau cari tebengan. Coba kalau aku bawa motor sendiri, pasti tidak akan merepotkan orang lain. Lagian teman-teman sebayaku sudah banyak yang bawa motor sendiri, bahkan ada juga yang memakai mobil.
Mereka berjanji nanti waktu aku kelas 3, baru akan dibelikan motor untukku.
"Nanti adek bareng Ayah aja, habis ini kita berangkat, tunggu Ayah ganti baju." Akhirnya Ayah mengalah berangkat lebih awal ke kantor untuk mengantarku terlebih dahulu. Karena kalau aku memesan ojek online sekarang, pasti akan lama karena pagi hari pasti trafic permintaan ojol tinggi.
Selesai sarapan, aku memakai sepatu di teras sambil menunggu Ayah ganti baju. Tadi Kak Anggi langsung pergi begitu selesai makan. Aku melihat jam sudah pukul 06.45 tapi Ayah belum juga keluar.
"Yah, ayo udah telat nih."
"Bentar sayang, Ayah masih ganti baju." Bukannya Ayah yang menjawab, tapi bukan.
Aku hanya mendecakkan lidah sebal, lalu aku mengeluarkan ponsel untuk meredakan kekesalanku. Saat menundukkan kepala sibuk dengan ponselku, aku mendengar suara motor sport Yamaha Vixion sedang dipanasi. Tak lama terdengar motor itu mulai berjalan, dan tiba-tiba ada suara klakson motor di depan rumahku. Aku refleks mengangkat kepala, sekali lagi terdengar klakson motornya dan dia membuka helmnya.
"Ayo bareng gue." Ucapnya.
Aku yang masih melongo, kaget sekaligus takjub. Dia adalah Ditya Pratama, tetangga yang rumahnya berbeda 2 rumah dari rumahku. Bagaimana aku tidak terkejut, selama ini tidak ada interaksi sama sekali antara aku dan dia. Ditya sangat jarang keluar rumah ikut kegiatan pemuda pemudi di kompleks perumahan kami dari dulu. Terdengar bunyi klakson motor lagi menyadarkanku buru-buru aku menuju pintu rumah berpamitan pada orangtuaku. Bodo amat, yang penting berangkat sekolah dulu, masalah nanti keadaan canggung pikir belakangan daripada lama menunggu Ayah dan buat aku telat sekolah.
"Yah, Bun, aku berangkat dulu, bareng Mas Ditya." Teriakku tanpa menunggu jawaban dari orangtuaku, aku langsung berlari ke depan gerbang rumahku.
Saat aku sudah dekat dengannya, jantungku terasa berdetak dengan cepat karena ini pertama kalinya aku berinteraksi dengannya, dan jantungku semakin berdebar saat melihat Ditya menurunkan pijakan kaki untukku. Tindakan kecilnya membuatku terpaku sesaat. Berdehem untuk mengurangi kegugupanku, aku melangkah di depannya.
"Makasih Mas, gue nebeng ya." Yang di jawabnya dengan anggukan kepala.
Tapi sekarang aku bingung, bagaimana aku menaiki motornya. Motornya tinggi, sedangkan aku mengenakan rok pendek, membuatku kesulitan menaikinya. Menyadari kebingunganku, Ditya menepuk pundaknya menyuruhku memegangnya untuk membantuku naik.
"Misi ya Mas," ijinku canggung padanya.
Akhirnya setelah berhasil naik di belakangnya, aku duduk menyamping. Ditya mulai menjalankan motornya, otomatis aku memegang pegangan yang ada di jok bagian belakangku agar aku tidak jatuh mengenaskan.
Sepanjang perjalanan, tidak ada percakapan, hanya ada suasana canggung. Akupun bingung mau ngobrol apa, karena kami memang gak dekat, meskipun rumahnya dekat denganku, tapi kami sangat sangat jarang berinteraksi. Hanya kalau berpapasan, kami saling melempar senyum sopan. Begitupun saat di sekolah.
Ditya sendiri seniorku di SMA Nusantara, pastinya dia duduk di kelas 3. Di sekolah Ditya lumayan terkenal karena termasuk dalam pemain inti club basket.
Jarak rumah ke sekolah tidak jauh, hanya memakan waktu 10 menit. Saat sudah mendekati gerbang sekolah, aku memajukan kepalaku untuk berbicara dengan Ditya.
"Mas, nanti tolong turunin aku di depan gerbang aja." Mintaku yang hanya dijawab dengan anggukan kepala.
Tentu saja aku minta turun di gerbang depan, karena tidak ingin menarik perhatian siswa siswi yang lain. Daripada menjadi bahan gunjingan, lebih baik mencari aman saja.
Begitu sampai gerbang, aku langsung turun dari motornya dan mengucapkan terima kasih padanya. Menghembuskan nafas lega, akhirnya aku terbebas dari suasana canggung tadi. Ditya benar-benar definisi cowok cool dan pendiam.
"Disty, ayo buruan jalan, malah bengong."
Aku menoleh ke sampingku saat mendengar suara Anet, sahabatku sedari pertama kali memasuki SMA.
"Baru dateng juga lo?" tanyaku saat Anet mengandeng lenganku untuk berjalan ke kelas kami.
"Hmm..tadi nunggu Putra jemput lama." Jawabnya yang membuat hatiku meringis.
Memalingkan wajah untuk menyembunyikan nyeri di hati, lalu berdecih. "Kebiasaan si Putra tuh, sukanya berangkat mepet-mepet jam."
"Ya gitu deh, lo kayak ga tahu si Putra aja."