Putra menghentikan mobilnya begitu sampai di lobby kantorku. Aku melepas sabuk pengaman yang melekat pada tubuhku.
"Nanti pulangnya aku jemput jam berapa?"
"Gak usah Put, nanti aku naik taxi aja. Lagian kamu habis ini ke pegadilan lalu ketemu klien." Tolakku halus,
"Gak apa-apa Dis, nanti kamu kabari aja pulang jam berapa. Oke?" Paksanya yang akhirnya kujawab dengan anggukan kepala lalu aku berpamitan untuk turun dari mobilnya. Namun Putra menahanku saat aku sudah bersiap membuka pintu.
"Ada apa lagi Put?"
"Kalau kamu ketemu Ditya, kamu harus jauh-jauh dari dia ya." Ucapnya dengan wajah gusar.
Aku mengusap lengannya bermaksud menenangkannya. "Kamu tenang aja, di kantor Ditya gak akan berani dekatin aku. Udah ya aku masuk dulu, takut telat. Bye!" Ujarku lalu segera turun dari mobil sebelum Putra kembali menahanku.
Berjalan menuju tempat fingerprint absensi aku menyapa beberapa rekan kerja yang berpapasan denganku. Pukul 07.55, jam yang tertera saat aku melakukan fingerprint. Tepat ketika aku membalikkan badan untuk menuju lift , aku terkesiap saat ada seseorang berdiri tepat di belakangku. Hampir saja punggungku menabrak dinding belakang karena aku yang berjengkit saking kagetnya. Beruntung lenganku cepat di tahan olehnya.
"Kamu gak apa-apa?" Tanyanya. Suara Ditya menyadarkanku dari keterkejutan. Iya, Ditya yang tadi berdiri tepat di belakangku bersama dengan asistennya, Mbak Elok namanya. Aku beberapa kali bertemu dengan Mbak Elok saat makan siang bersama Mbak Asri dan Mbak Dea.
"Ehmm terima kasih Pak, saya tidak apa-apa." Ucapku sembari menepis tangannya yang masih bertengger di lenganku dengan halus. Karena tersadar di belakangnya saat ini ada mbak Elok. "Kalau begitu saya pamit Pak, permisi." lanjutku, pamit pada kedua orang tadi.
Segera aku masuk ke dalam lift setelah pintunya terbuka dan menekan tombol lift menuju lantai tempat kerjaku. Namun sialnya ketika pintu akan tertutup, terdengar mbak Elok meminta tolong untuk menahan pintunya karena ia dan Ditya mau ikut sekalian naik.
"Makasih ya Dis," ujar mbak Elok begitu ia masuk ke dalam lift di ikuti oleh Ditya di belakangnya. Aku hanya menjawab dengan senyuman yang terpaksa. Aku menggeser tubuhku tepat menempel di dinding lift.
Kini di dalam lift hanya ada kami bertiga. Aku dan mbak Elok berdiri bersisian di bagian belakang, sedangkan Ditya berdiri tepat di hadapan kami.
"Udah berapa bulan mbak hamilnya?" Tanyaku basa basi untuk mengisi hening diantara kami.
"Udah 8 bulan Dis, bulan depan udah lahiran deh." Jawabnya seraya mengusap perutnya.
Aku yang gemas melihat perut buncit mbak Elok, ikut mengusap perutnya. "Wahh berarti habis ini cuti melahirkan dong."
"Iya, 2 minggu lagi nih mulai cuti. Pasti habis ini Pak Direktur pusing cari pengganti aku." Ujarnya yang terkikik sambil melirik Ditya, yang membuatku kembali tersadar keberadaannya.
Segera aku menegakkan tubuhku yang tadi membungkuk saat mengusap perut mbak Elok. Aku melirik sekilas dan menangkap basah Ditya yang ternyata sedang menatapku, segera aku memalingkan wajah menghindari tatapan Ditya.
"Gimana Pak?apa sudah dapat pengganti selama saya cuti melahirkan?" Tanya mbak Elok membuatku menolehkan kepala padanya.
"Belum, tapi saya sudah ada rekomendasi. Segera saya ajukan ke HRD." Jawab Ditya sambil menatapku dari kaca pintu lift dan sekilas aku melihat senyum mencurigakan darinya yang membuat perasaanku tuba-tiba tidak enak.
"Wah benaran Pak?kalau gitu lebih cepat baik, jadi bisa saya ajari dulu." Mbak Elok menanggapi dengan semangat. Sementara aku hanya diam mengamati interaksi mereka hingga denting lift berbunyi dan aku berpamitan pada mereka untuk keluar terlebih dahulu.