Part 32

8.3K 603 34
                                    

Baru banget selesai nulis tanpa edit lagi, kalau banyak typo bertebaran tolong tandain ya ✌️✌️

Jangan lupa vote dan ramein kolom komentarnya ❤️‍🔥❤️‍🔥

Thank you buat kalian yang masih setia nunggu cerita ini update, love you sekebon buat kalian 😍😘💞💞

***

Aku melangkah masuk ke dalam setelah dipersilahkan masuk. Ruang kerja Direktur yang luas ditempati Ditya yang nampak sedang duduk di kursinya dengan kepala yang menunduk sibuk membaca dokumen yang berada di tangannya.

"Apa maksud Anda memindahkan saya menjadi sekretaris?" Tanyaku masih dengan nada sopan.

Ditya mencondongkan tubuhnya ke depan melihat bagaimana aku berdiri di seberangnya. "Kenapa memangnya?bukannya ini bagus buat karir kamu." ujarnya.

"Maaf saya gak butuh. Saya masih betah dan ingin tetap bekerja di bagian R&D." Ucapku masih dengan posisi berdiri, enggan duduk.

Ditya bergerak mundur, bersandar pada sandaran kursi lalu melipat kedua tangannya di depan dada. "Tapi saat ini kamu bukan dalam posisi tawar menawar dengan saya."

Aku berdecih, tidak sopan memang sikapku namun aku muak dengan Ditya. "Tapi bapak gak bisa seenaknya memindahkan saya seperti ini. Masih banyak karyawan lain yang lebih berpotensi dan kalau saya pindah, posisi admin di R&D akan kosong."

"Kamu gak perlu khawatir...tadi pasti bagian HRD sudah jelasin ke kamu kalau pengganti kamu di bagian admin R&D akan segera datang. Dan untuk mempertimbangkan karyawan lain yang lebih potensial atau ambil karyawan baru, saya rasa kamu pilihan yang lebih baik. Karena saya udah punya chemistry dan saya rasa akan menyenangkan bekerja dengan kamu, lagian kita udah saling mengenal satu sama lain, gak akan sulit untuk adaptasi." Jelasnya panjang lebar.

Aku masih terdiam, mencoba mencari alasan lain untuk menolaknya. Aku benar-benar gak setuju dengan tawaran ini, terlalu beresiko untukku ataupun Ditya, salah satunya adalah nantinya akan ada salah paham dengan Anet. Saat aku masih terdiam, Ditya memanggilku. "Disty, ini tuh bukan tawaran, tapi perintah. Kamu gak bisa menolaknya, kamu harus ingat kontrak kerja yang dulu sudah kamu tanda tangani, saya yakin tadi pasti Pak Ilham sudah jelasin ke kamu."

Menghembuskan nafas kasar, "oke, karena tidak ada pilihan lain lagi saya terima, tapi...," Aku menjeda ucapanku, Ditya terlihat tersenyum penuh kemenangan. "Bagaimana dengan Anet, saya gak mau dia salah paham dengan saya." Ujarku mengungkapkan kekahawatiranku.

"Kamu gak usah khawatir, Anet akan menjadi urusan saya. Ini tentang pekerjaan, Anet gak akan bisa ikut campur." Ucapnya dengan tenang. Kemudian Ditya bangkit berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangan untuk menjabat tanganku, mau tidak mau aku juga mengulurkan tanganku dan Ditya menjabat tanganku dengan erat.

"Selamat bergabung, semoga kamu betah bekerja dengan saya."

"Terima kasih dan semoga kita bisa bekerja dengan profesional." Balasku sambil melepaskan jabatan tangan kami.

"Kalau begitu saya pamit, permisi." Pamitku seraya membalikkan badan untuk keluar dari ruangan Ditya.

"Dek, tunggu." Panggilnya yang membuatku menutup mata, belum ada 1 jam dari kesepakatan, Ditya sudah berulah. Sepertinya aku harus mengingatkan Ditya untuk tak lagi memanggilku Dek. Belum sempat aku berbicara, Ditya sudah lebih dulu berbicara.

"Seperti janjiku, aku akan terus kejar kamu dan dapetin kamu lagi. Dan ini salah satunya caraku, kamu udah gak bisa lagi mundur. Kamu cukup buka hati kamu lagi buat aku, biar aku yang berjuang untuk dapetin kamu lagi Dek." Ujarnya. Tanpa membalas Ditya, aku melanjutkan langkahku keluar dari ruangannya. Membuka pintu lalu menutupnya lagi, aku berhenti sejenak sambil mengencangkan pegangan tanganku pada gagang pintu.

Ada rasa sesak yang kurasakan saat mendengar ucapan Ditya tadi. Aku takut kembali berharap pada Ditya, yang nyatanya sekarang bukanlah untukku.

"Disty!"

Aku terkesiap saat mendengar seseorang memanggilku. Refleks aku melepaskan genggaman tanganku pada pegangan pintu.

"Eh iya Bu Ambar, maaf saya tadi melamun." Jawabku dengan gugup.

"Ya ampun, maaf ya aku ngagetin kamu."

"Gak apa-apa Bu, saya yang salah. Bu Ambar mau ketemu sama Pak Ditya?"

"Iya sama mau ke Ditya. Kamu jangan panggil aku Ibu dong, berasa tua deh. Panggil aja kayak dulu, mbak Ambar gitu."

"Gak bisa lah, kan Bu Ambar atasan saya, ini juga lagi di kantor." Bantahku. Belum sempat Mbak Ambar membantah, pintu yang berada dibelakangku terbuka, menampakkan Ditya yang berdiri dengan memegang pintu, membuatku bergeser untuk memberi jalan Ditya untuk keluar.

"Loh kamu masih di sini?" Tanyaku yang ku jawab dengan anggukan kepala singkat, lalu Ditya mengalihkan tatapan pada Mbak Ambar. "Mbak kenapa kesini?katanya ada meeting di luar?"

"Udah selesai, ini Mbak mau ke ruangan kamu. Mau jelasin hasil meeting tadi. Terus kamu ini mau kemana?" Tanya Mbak Ambar yang melihat Ditya bersiap seperti akan keluar meninggalkan kantor.

Aku melihat Ditya seperti salah tingkah, dan seperti menghindar untuk menatapku. "Ehmm...aku di telepon Papa, diminta ke Restoran Gunarma untuk menemui Anet di sana."

"Ohh ya..ya udah deh kalau gitu, nanti setelah kamu balim langsung ke ruangan Mbak ya." Ucap Mbak Ambar yang terasa seperti merasa bersalah karena ucapan Ditya tadi. Tak jauh beda, Ditya juga menampakkan raut bersalah. Sedangkan aku hanya diam mendengarkan mereka berbicara, yang sebenarnya dari tadi aku ingin berpamitan.

"Disty, mau makan siang sama Mbak?" Tawar Mbak Ambar yang kentara sekali merasa bersalah.

Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku, "Terima kasih Bu, tapi istirahat masih satu jam lagi, saya juga masih ada pekerjaan. Kalau begitu saya permisi terlebih dahulu." Pamitku yang segera melangkah menjauhi mereka berdua.

Begitu masuk ke dalam lift yang menuju ke ruanganku, aku menyandarkan punggungku pada dinding lift, menghembuskan nafas kasar. Memijat pelan keningku yang tiba-tiba terasa pening.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
I'm yours, SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang