"Fan, ayo pulang" ajakku pada Refan. Kali ini aku pulang bareng Refan karena Kak Anggi ada kerja kelompok di rumah temannya. Tadi dia sempat menawarkan biar Kak Romy yang menjemputku, tapi aku menolaknya. Aku merasa sungkan kalau merepotkan Kak Romy, akhirnya aku memilih nebeng pulang dengan Refan.
"Duh sorry Dis, gue gak bisa anter lo. Ini gue ada rapat dasakan OSIS."
Aku berdecak sebal, Refan ini salah satu anggota OSIS jadi sudah tidak heran kalau dia menjadi orang yang sibuk.
"Gak bilang dari tadi sih."
"Ya sorry Dis, ini baru juga gue dapet chat dari sekretaris OSIS."
"Udah lo pulang aja sama kakak kelas yang tadi pagi itu."
"Tau ah, gue sebel sama lo. Bye!" Aku pergi meninggalkan Refan keluar kelas. Ternyata di depan kelas ada Anet, tadi dia sudah pamit keluar kelas duluan, aku kira dia sudah pulang.
"Loh Net, kok lo masih disini, gue kira lo udah pulang."
"Belum masih nungguin Putra keluar, tuh dia." Tunjuknya pada Putra yang kini sedang berjalan ke arah kami. Terlihat dia tersenyum bahagia saat menghampiri kekasihnya.
Dari arah kelas kami, Refan berjalan keluar dan ikut berhenti di depan kelas bersama kami.
"Jangan ngambek dong Dis, gue kan gak tahu kalau ada rapat OSIS mendadak. Besok gue traktir deh mie ayam di kantin."
Sebenarnya aku tidak benar-benar sebal apalagi marah. Tapi melihat muka bersalahnya, membuatku ingin mengerjainya. Refan ini termasuk salah satu sahabatku yang loyal, meskipun dulu Putra lebih loyal terhadapku.
"Beneran ya besok traktir gue, awas kalau bohong."
"Iya iya, tagih aja besok." Ucapnya pasrah, aku mengulurkan tanganku untuk berjabat tangan sebagai tanda deal.
"Loh lo gak jadi pulang sama Refan, Dis?" Tanya Anet padaku. "Dan lo cuman traktir mie ayam buat Disty, gue gak gitu?" Protesnya pada Refan.
"Lo minta aja lah sama cowok lo, kan dia lebih tajir." Ujarnya sambil menyengir jahil.
Ku lihat, Putra mengulurkan tangannya ke atas kepala Anet, mengelusnya sayang. Membuatku menahan sesak, refleks aku memalingkan wajahku agar tidak melihat pemandangan itu. Menghembuskan nafas perlahan lalu berdeham, aku menjawab pertanyaan Anet tadi.
"Ehmm, gak jadi dia ada rapat dadakan tuh. Ya udah deh, gue duluan ya. Mau jajan cilok dulu di depan. Bye!"
Meninggalkan mereka bertiga, aku berjalan menuju depan sekolah. Beli jajanan dulu di depan sambil memesan ojek online untuk pulang. Saat sedang sibuk mengantri siomay, muncul motor Ditya dan berhenti tepat di samping trotoar tempatku mengantri.
"Ayo pulang bareng" ajaknya.
"Hah?"
"Lo di jemput gak?kalau gak, ayo bareng gue."
"Eh, iya Mas, gue bareng." Jawabku, buru-buru aku meninggalkan antrian siomay.
"Mas gak apa-apa gue nebeng lagi?" Tanyaku begitu motornya mulai melaju meninggalkan area sekolah.
Membuka kaca helmnya, Ditya menjawab, "Santai kali dek, kan kita juga searah. Besok pagi kalau mau nebeng lagi, tunggu aja depan teras."
"Eh beneran?"tanyaku memastikan, yang dijawabnya denga anggukan kepala.
Dari saat itulah selama seminggu terakhir ini aku selalu berangkat dan pulang bareng Ditya. Kami juga perlahan mulai mencairkan suasana dengan mengobrol ringan selama perjalanan. Meskipun hubungan kami selama di sekolah masih seperti dulu, hanya saling sapa saja saat berpapasan tapi ketika sudah berdua diatas motor, akan ada saja yang kami bicarakan.
Tapi semuanya hanya bertahan selama seminggu saat malam itu aku menerima chat dari Ditya.
Mas Ditya
Dek, ini Ditya.Chat pertama setelah seminggu aku nebeng dengannya. Selama bersama dengannya, sama sekali tidak ada diantara kami berdua yang saling bertukar nomor ponsel. Aku mengerutkan kening, dari mana dia mendapatkan nomorku?
Me
Iya Mas Dit, ada apa?Mas Ditya
Sorry banget,
besok gue gak bisa barengin lo lagi. Cewek gue tahu, dia tadi marah-marah.Aku melotot terkejut, tak tahu kalau dia sudah memiliki kekasih, selama ini aku tidak pernah melihatnya bersama cewek di sekolah. Aku merasa bersalah.
Me
Ya Ampun Mas,
sorry banget gara-gara gue, lo jadi bertengkar. Gak apa-apa kok, santai aja.Mas Ditya
Ada yang lapor sama cewek gue, makanya dia tahu. Sorry banget ya Dek.Me
It's okay Mas, cewek kelas mana Mas?biar gue minta maaf secara langsung karena udah bikin kalian salah paham.Sungguh aku merasa bersalah, aku gak pengen kejadian dulu terulang lagi.
Mas Ditya
Gak perlu Dek, dia beda sekolah sama kita. Lagian gue udah baikan kok.
Udah dulu ya Dek, gue mau lanjut belajar dulu. See youMe
Okay Mas 👌Selesai membaca chat dari Ditya aku kembali merebahkan tubuhku di kasur. Perasaan bersalah itu muncul lagi, kenapa aku sedari awal gak tanya statusnya. Tapi selama ini kami kalau mengobrol gak pernah bahas tentang kehidupan pribadi masing-masing.
Seharusnya dari awal aku tahu, gak mungkin seorang Ditya itu jomblo. Meskipun di sekolah dia tidak termasuk siswa yang menonjol atau populer, tapi dia memiliki wajah yang tampan, tinggi badan 185cm menunjangnya untuk masuk di tim inti basket sekolah. Beberapa kali aku sempat melihatnya saat berlatih di lapangan, tak sedikiti siswi yang terpesona saat melihatnya bermain basket.
Tok tok!
Suara pintu kamarku di ketuk dari luar.
"Masuk." Sahutku masih dengan posisi berbaring di ranjang.
Tampak Bunda berjalan ke arahku
"Ada apa Bun?"
"Itu dibawah ada Putra, dia nyari kamu."
Aku berdecak sebal, lalu beranjak duduk. Ngapain dia kesini lagi, kalau ceweknya tahu, bisa salah paham lagi.
"Iya bun, bentar lagi aku turun."
"Ya udah bunda turun dulu ya." Pamit Bunda yang kujawab dengan anggukan kepala.
Berjalan menuju kaca yang ada di lemari baju, aku melihat bayangan diriku sendiri. Dulu saat Putra main ke rumah, aku akan bersemangat menyambutnya, tapi sekarang berbeda, meskipun masih ada debaran di jantungku, aku berusaha menguburnya dalam-dalam. Aku sudah berjanji pada Anet, saat dia mau menerima Putra, aku akan mengubur dalam-dalam perasaanku.
Beberapa hari ini, dengan keberadaan Ditya cukup mengalihkan perhatianku pada Putra. Tapi sekarang, saat dihadapkan lagi hanya berdua dengan Putra, debaran itu masih saja terasa menyakitkan.
Turun dari tangga, aku menuju teras depan. Disana Putra duduk dengan tangan yang disangga di lututnya, pandangannya lurus ke depan. Hembusan nafas kasarku terdengar oleh Putra, membuatnya menoleh padaku.
"Hai Dis," sapanya.