Berdiri dari posisi duduknya diatas motor, Putra berjalan mendekatiku, "Dari mana aja jam segini baru pulang Dis?" Tanyanya begitu sampai di depanku.
Menghembuskan nafas kasar, lagi-lagi dia bersikap seperti ini. Aku mengabaikannya, dan berjalan masuk ke dalam halaman rumah. Baru berjalan beberapa langkah, Putra mencekal tanganku membuatku berhenti.
"Gue tadi tanya ya Disty, kenapa lo abaiin gue?"
Aku mencoba melepas cekalan tangannya, tapi Putra semakin erat memegangnya.
"Lepasin Put, sakit." Keluhku. Akhirnya Putra melonggarkan cekalannya, berganti dengan menggenggam tanganku lalu menarikku menuju kursi teras.
Sambil berjalan, aku melihat genggam tanganku dengan Putra. Dulu beberapa kali dia sempat menggenggam tanganku saat kami sedang jalan bareng, aku pasti akan merasa sangat senang dan hatiku berdebar, tapi sekarang semuanya terasa salah. Tersadar, aku langsung menepis tangannya yang membuat genggam tangan kami terlepas. Putra berbalik menghadapku, dan menghembuskan nafas pasrah. Aku berjalan melewatinya, duduk di kursi teras. Putra mengikutiku duduk di teras, lama kami diam. Untung saja gak ada orang di rumah, jadi gak ada yang mengetahui pertengkaranku dengan Putra.
"Sebenarnya apa sih mau lo Put?"
"Lo belum jawab pertanyaan gue Disty. Dari mana aja lo sama Ditya sampai jam segini baru pulang. Lo juga beberapa kali ngehindar tiap gue dateng kesini."
Lagi-lagi Putra menanyakan hal yang sama.
"Ck bukan urusan lo Put, gue gak harus selalu laporan kemana aja gue pergi."
"Gue cuman mau jagain lo."
Aku mendengus, muak mendengar Putra selalu mengulang kata-kata itu lagi.
"Gue bukan anak kecil yang harus lo jaga. Gue baik-baik aja. Yang harusnya lo jaga dan perhatiin itu cewek lo, Anet."
"Gue juga mau jagain lo, gak pengen lo deket sama cowok yang salah. Gue denger si Ditya udah punya cewek, buat apa dia ngajakin lo pulang pergi sekolah bareng terus pakai acara keluar juga."
"Ditya udah putus by the way. Yang salah itu lo, udah punya cewek masih aja ribet ngurusin urusan gue." Ucapku tajam padanya. Sejujurnya aku gak tega bilang seperti itu, tapi Putra sangat keras kepala.
"Emang lo siapa gue?kita cuman sahabat, lo harusnya paham itu karena lo sendiri yang tegasin itu dulu. Sebaiknya lo pulang, gue capek." lanjutku.
Putra diam, dia menatapku dengan sorot matanya yang terluka. Aku gak tahu apa yang membuatnya terluka, aku mengatakan yang sebenarnya. Dulu dia sendiri yang bilang gak mau pacaran sama sahabatnya sendiri dan saat itu dia sendiri yang menegaskan posisiku sebagai sahabatnya.
Aku berdiri dari dudukku, menganggap pembicaraan hari ini selesai, aku membiarkan Putra tetap duduk di sana. Biar saja nanti dia pergi sendiri, aku sudah merasa cukup bicara dengannya. Sungguh aku lelah semua sikap aneh Putra akhir-akhir ini. Setelah membuka kunci pintu rumah, aku mendorongnya dan masuk ke dalam. Tapi saat akan menutup pintu kembali, aku terkejut tiba-tiba Putra menerobos masuk lalu dia menutup pintunya dan mendorongku pada dinding disamping pintu.
Putra berdiri tepat dihadapanku, menudungiku dengan tubuhnya yang tinggi, kedua tangannya berada tepat di kanan kiri kepalaku. Aku mendongakkan kepala hendak protes, tapi langsung bergidik ngeri saat melihat sorot mata Putra tajam menatapku, membuatku menundukkan kepala takut. Baru kali ini aku takut melihat sosok Putra dihadapanku ini.
Putra memegang daguku dengan tangan kanannya, membuatku mendongakkan kepala dan menatap matanya lagi.
"Gue belum selesai bicara sama lo Disty, beraninya lo ninggalin gue." Ucapnya tajam membuatku semakin takut. Disaat seperti ini aku berharap ada orang yang datang ke rumah.
Aku menggelengkan kepala, "gue udah selesai Put, gak ada lagi yang perlu kita bahas. Lo bisa pulang sekarang."
"Gue bilang, gue belum selesai Disty, lo paham gak sih." Ucapnya dengan suara mengeram menahan emosi. Lalu dia melanjutkan, "Sikap lo berubah sama sama gue sejak gue jadian sama Anet, lo jadi jaga jarak sama gue. Lo udah gak lepas lagi becanda sama gue gak kayak pas sama Refan atau Akbar, lo udah gak manja-manja lagi sama gue, lo kayak nahan diri Dis, gue gak suka itu. Dan gue lebih gak suka lagi pas lo deket sama cowok lain."
"Lo bukan cowok bodoh Putra, lo pasti tahu perasaan gue yang sebenarnya buat lo." Aku menjeda ucapanku sesaat, melihat ekspresi Putra yang membeku, lalu melanjutkan.
"Tapi lo sendiri yang dorong gue Put buat menjauh dari lo. Lo sendiri yang bilang gak akan pernah mau pacaran sama sahabat lo sendiri, sedangkan lo udah labeli gue sebagai sahabat, secara gak langsung lo udah nolak gue Put. Dan dengan kejamnya dulu lo minta gue buat bantuin lo biar bisa jadian sama Anet." Rasa sakit itu muncul kembali, tanpa terasa air mataku menetes.
"Sekarang lo udah berhasil jadian sama Anet, tapi kenapa sekarang lo ngerecokin gue. Gimana gue bisa move on dari lo Put. Lo udah punya Anet, gue udah ikhlas lepasin lo. Biarin gue deket sama cowok lain Put" Ucapku dengan terisak.
"Sstt please jangan nangis kayak gini Dis," Putra menenangkanku dan jari-jarinya mengusap pipiku menghapus airmata yang menetes.
Aku menepis tangannya, kembali mendongakkan kepala menatap mata Putra. Aku harus segera mengakhiri semua ini.
"Gue udah ikhlas lepasin lo Put, gue janji akan lupain perasaan gue sama lo. Gue gak mau nyakitin Anet. Please jangan kayak gini terus Put."
Putra diam, matanya yang tadi sempat lembut menatapku, kini kembali menatapku dengan mata yang berkobar marah. Tangannya memegangku daguku lagi, tanpa terduga Putra memajukan wajahnya dan menciumku tepat di bibirku, kurasakan bibirnya bergerak kasar dibibirku. Aku menggelengkan kepala, mencoba melepas ciumannya, tapi Putra semakin mencengkeram daguku membuat kepalaku tidak bisa bergerak.
Aku menangis mendapatkan perlakuan kasar ini darinya. Mendengar isakanku, Putra melepas ciumannya, keningnya menempel pada keningku. Jari tangan kiri Putra mengusap bibirku yang tadi diciumnya.
"Dengerin gue baik-baik Disty, lo punya gue sayang. Jangan pernah lo lupain perasaan lo sama gue. Asal lo tahu gue juga sayang sama lo." Ucapnya yang seperti melemparkan bom padaku. Putra menjauhkan tubuhnya, lalu bersiap untuk membuka pintu meninggalkanku.
"Egois" desisku.
"Lo tahu gue egois Dis, jadi ingat mulai sekarang lo punya gue. Gue akan awasin tiap gerak gerik lo."
"Gue bukan punya lo, lo yang harus inget. Lo udah punya Anet."
"Anet urusan gue, lo ga perlu mikirin dia, yang lo perlu pikirin itu gue. Jadi jangan macem-macem sama cowok lain sayang." Ucapnya sambil mengelus puncak kepalaku.
Setelah mengatakan itu, Putra membuka pintu dan meninggalkanku. Aku duduk merosot di lantai, memukul dadaku yang terasa sakit, muak dengan kata sayang yang keluar dari mulut Putra. Aku memegang bibirku, merasa bersalah pada Anet.