Hai hai aku datang kembali, apa kabar kalian semua? 🤩🤩🤩
Btw, happy new year 2023 🥳🥳🥳
Gak bosen-bosen aku ucapin terima kasih ke kalian semua yang udah sabar nungguin update-an cerita ini.
Doakan semoga 2023 ini aku bisa cepat kelarin cerita Ditya Disty ini dan bisa produktif bikin cerita-cerita seru lainnya🤞🤞🤞
****
Sesampainya di ruangan R&D, mbak Dea dan mbak Asri kecuali Mas Hendri tentunya, langsung menyerbuku begitu aku duduk di kursi kerjaku.
"Gimana gimana?Lo ada skandal apa sampai di panggil HRD?"
Sebelum menjawab mbak Dea, aku meraih botol air minum dan langsung menegak habis isinya. "Gak gimana-gimana tapi...," jedaku dengan mengamati ekspresi mbak Dea dan Mbak Asri yang terlihat penasaran. "Tapi gue dipindahtugaskan di bagian sekretaris Direktur, gantiin mbak Elok yang mau cuti melahirkan."
Terlihat ekspresi terkejut dari mereka berdua, hingga hening beberapa saat, lalu aku mengalihkan tatapanku pada Mas Hendri yang dibalas senyum prihatin sekaligus bersalah.
"Dan lo bersedia dipindahtugaskan?" Respon pertama yang diberikan oleh Mbak Asri.
"Ya mau gimana lagi, budak korporat kayak kita gini emang bisa nolak?" Ujarku dengan mengedikkan bahu.
"Gue juga masih karyawan baru di sini, terus Mas Hendri juga udah acc gue di pindahin. Tuh tanya langsung sama yang bersangkutan." Tunjukku pada Mas Hendri.
Serentak mereka mengalihkan tatapan yang semula fokus padaku, berpindah ke Mas Hendri. Sambil berdehem, Mas Hendri lalu menjawab, "ya gue juga gak ada pilihan lain, yang ngasih rekomendasi langsung pak Ditya, mana berani gue nolak."
"Sumpah Mas, yang rekomendasi langsung Pak Ditya?!" Seru Mbak Dea yang dijawab dengan anggukan kepala oleh mas Hendri. "Tapi kenapa mesti lo?maksud gue, bukannya meragukan sama kemampuan lo, tapi kan bisa aja mereka rekrut karyawan baru aja." Lanjutnya.
"Mana gue tahu, gue aja masih bingung. Belum selesai gue belajar di R&D udah main tarik aja di bagian sekretaris. Mana gue gak ada basic jadi sekretaris lagi." Jawabku dengan lesu sambil merebahkan kepalaku pada meja.
"Tenang aja Dis, kerjaan sekretaris gak jauh beda sama kerjaan admin kok. Hitung-hitung lo belajar hal baru." Ucap Mas Hendri mencoba menenangkanku.
"Lagian Pak Ditya jomblo kan?Siapa tahu lo bisa jodoh sama beliau." Lanjutnya.
"Dih Mas Hendri gak tahu ya, Pak Ditya tuh udah punya tunangan. Pas makan malam penyambutan itu tunangannya dateng, kata anak-anak yang lihat langsung sih dia cantik."
Aku hanya tersenyum miris mendengar ucapan Mbak Asri. Ternyata banyak karyawan yang sudah mengetahui status Ditya. Aku semakin menenggelamkan wajahku di antara lipatan tanganku di atas meja. Sementara aku masih bisa mendengar mbak Asri dan mbak Elok membahas tentang Ditya dan tunangannya, sedangkan Mas Hendri hanya sebagai pendengar dengan sesekali menimpali.
***
Hari di mana aku akhirnya resmi menjadi sekretaris sekaligus asisten Ditya datang juga. Hari pertama bekerja semuanya masih berjalan dengan baik. Aku mencoba bekerja secara profesional. Selama hampir 2 minggu, di sela-sela waktu bekerja aku belajar pada mbak Elok, beruntungnya penggantiku sebagai admin R&D datang lebih cepat.
Pagi hari, seperti yang sudah diajarkan oleh mbak Elok, Ditya terbiasa meminum kopi hitam dengan camilan biskuit. Jadi sebelum Ditya datang, aku sudah menyiapkan semuanya di atas mejanya.
Saat aku tengah duduk untuk menyiapkan dokumen yang harus di tanda tangani, Ditya keluar dari pintu lift yang berada tepat di hadapan meja kerjaku. Aku berdiri dan siap untuk menyambutnya. Hari ini Ditya datang dengan setelan jas berwarna navy dengan kemeja berwarna putih, namun ada yang kurang dari tampilannya saat ini, dasinya masih menggantung di lengannya belum terpasang di lehernya.
Sebelum masuk ke dalam ruangannya Ditya berhenti tepat di depan mejaku dan berkata, "Dek, ikut masuk ruangan sebentar." Yang kujawab dengan anggukan kepala sopan, lalu ia kembali berjalan menuju ruangannya.
Setelah Ditya masuk, aku menyiapkan dokumen dan ipad yang berisi jadwal kerja Ditya hari ini. Aku mengetuk pintu dan masuk ke dalam setelah mendapatkan sahutan dari dalam. Saat aku masuk ke ruangan Ditya, dia sedang berdiri dengan bersandar di depan mejanya sambil meminum kopi yang tadi telah aku siapkan.
"Selamat pagi Pak, ini berkas-berkas yang harus bapak tanda tangani hari ini." Ucapku sambil menyerahkan dokumen yang ada di tanganku.
"Hmm kamu taruh aja di meja." Balasnya yang langsung aku lakukan dengan menaruh dokumennya di atas meja.
"Dek, bisa tolong pasangkan dasiku?" Pintanya sambil menyerahkan dasi yang berada di tangan kanannya padaku.
"Maaf Pak, itu bukan job desk saya untuk memasangkan dasi Pak Ditya. Dan tolong jangan panggil saya Dek, cukup panggil saya Disty seperti yang lain." Tolakku dengan nada sesopan mungkin, meskipun dalak hati terasa kesal.
Ditya melipat tangannya di depan dada, dan tersenyum miring. "Kamu kan asistenku, jadi harus bisa pasangkan dasi buatku dan ini perintah. Untuk panggilan, terserah aku mau manggil apa."
Mendengar kata perintah, mau tidak mau aku menuruti Ditya. Dan juga ini masih pagi, aku tidak ingin merusak mood ku yang sudah aku kumpulkan di apartemen tadi. Bergerak maju ke depan, aku meletakkan iPad yang sedari tadi aku genggam di meja yang terletak belakang Ditya.
Menghembuskan nafas berat, aku melangkah mendekat dan berdiri di depan Ditya. Aku meraih dasi yang berada di tangannya. Mengalungkan kedua lenganku ke tengkuk Ditya untuk memasangkan pada kerah kemejanya. Perlu sedikit berjinjit agar aku bisa merapikan bagian belakang kerahnya, lalu aku mulai menyimpulkan tali dasinya.
Aku berusaha tenang, meskipun dari jarak sedekat ini jantungku berdetak sangat cepat. Bau parfum yang menguar dari Ditya, membuatku dejavu, wangi parfum yang masih sama seperti dulu, tak pernah berubah. Tak bisa di pungkiri, efek berdekatan dengan Ditya, masih saja menimbulkan getar di hatiku. Aku sadar sedari tadi Ditya menatapku, namun aku berusaha mengabaikannya dan sesegera mungkin menyelesaikan memasang dasinya.
"Kenapa?" Tanya tiba-tiba.
"Hmm," gumamku tanpa minat.
"Kenapa kamu gak mau natap wajahku?" Lanjutnya, yang langsung membuat gerakanku berhenti sesaat.
Aku berdehem, lalu lanjut menyelesaikan memasang dasi dan mundur satu langkah. "Maaf saya tadi sedang memasang dasi, jadi tidak tepat rasanya kalau saya menatap wajah Pak Ditya."
Baru saja Ditya akan bicara kembali, ponsel yang berada di mejanya bergetar menandakan ada panggilan masuk. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat id caller Anet di sana. Menyadari pandanganku yang terarah pada ponselnya, Ditya membalikkan layar ponsel menjadi menghadap bawah.
Aku tersenyum miris, lalu bergerak maju kembali untuk mengambil iPad yang tadi aku letakkan di mejanya.
"Silahkan Pak Ditya terima teleponnya dulu, saya akan pamit keluar ruangan lalu setelah itu akan saya bacakan agenda Bapak hari ini."
"Tunggu dulu, aku belum selesai bicara." Cegahnya dengan memegang lenganku.
"Maaf pak, tapi sepertinya teleponnya penting. Dari tadi getarnya tidak berhenti. Silahkan di terima dulu teleponnya, saya pamit. Permisi." Pamitku dengan menepis pelan tangannya yang berada di lenganku.