Guys, tandai ya kalau ada typo soalnya aku gak sempet edit lagi. Thank you 😍😍
****
Beruntung jabatan Ditya sebagai Direktur dan aku yang sebagai staff biasa di kantor tidak perlu berhubungan secara langsung, hingga membuatku nyaris tidak pernah bertemu dengannya, mungkin hanya beberapa kali kami berpapasan. Jika itu terjadi, maka aku akan menunduk berpura-pura tidak melihatnya. Hatiku masih sakit dan aku tidak sanggup untuk menatap Ditya terlalu lama. Aku menyadari Ditya selalu menatapku dengan sorot sendu setiap kami berpapasan.
Malam ini sepertinya nasib sial sedang menimpaku. Saat akan pulang dari lembur, Ditya tiba-tiba datang ke ruanganku. Di ruangan ini aku sendirian, semua rekan kerjaku sudah pulang tadi pukul 18.00. Mas Hendra yang biasanya menemani aku lembur, harus pulang terlebih dahulu karena anaknya sedang sakit.
Aku menatap Ditya yang saat ini sedang berdiri di depan pintu ruangan dengan lelah. Meskipun aku ingin sekali mendengarkan penjelaaan Ditya, tapi saat ini aku benar-benar lelah karena pekerjaan yang sedang padat-padatnya hingga sering kali membuatku terlambat makan, seperti malam ini.
"Ada yang bisa saya bantu Pak Ditya?" Tanyaku dengan sopan, mengingat statusnya sebagai atasanku. Terdengar dengusan dari Ditya saat aku menyebutnya Pak.
"Bisa kita bicara?"
Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku yang saat ini menunjukkan pukul 20.00.
Lalu aku menggelengkan kepala, "maaf Pak, sudah malam. Saya mau pulang, ini sudah bukan jam kerja."
"Karena udah bukan jam kerja, makanya aku mau bicara sama kamu, Dek. Aku mau bicara tentang kita."
"Maaf saya gak punya waktu. Lebih baik Pak Ditya pulang, karena saya juga mau pulang, karena saya sudah lapar dari tadi belum makan."
Ditya berdecak sebal sekaligus menunjukkan wajahnya yang khawatir.
"Dek, kamu itu kan punya maag, bisa-bisanya kamu telat makan kalau maag-mu kambuh gimana?" Ucapnya dengan khawatir.
Dulu Ditya akan memarahiku habis-habisan saat tahu aku telat makan, karena Ditya pernah melihatku kesakitan bahkan sampai muntah-muntah ketika maag-ku kambuh.
Aku mengedikkan bahu tak acuh, "udah resiko pekerjaan, Pak Ditya pasti lebih tahu. Dan sekarang saya beneran lapar dan pengen cepat balik apartemen."
Lalu aku melangkah menuju pintu dimana Ditya berdiri di sana. Saat tubuhku sejajar dengannya, Ditya mencekal pergelangan tanganku. Mendongakkan kepala menatap Ditya, sedangkan dia balas tatapanku.
"Ayo makan sama aku, sekalian kita bicara." Ajaknya.
"Gak ada yang perlu dibicarakan lagi. Saya gak mau tunangan bapak salah paham sama saya."
"Dek, kamu harus dengerin penjelasan aku. Aku gak mau terus-terusan kayak gini." Lalu tanpa aba-aba tanganku yang masih di pegang oleh Ditya, langsung ditariknya mengikuti langkah kaki Ditya. Aku tidak tinggal diam, mencoba melepas cekalan tangan Ditya namun bukannya terlepas, Ditya malah mempererat cekalannya membuat pergelangan tanganku terasa perih.
"Lepasin, sakit tangan saya." Keluhku yang langsung membuat langkah Ditya terhenti dan dia berbalik badan untuk menghadapku.
"Sorry dek" ucapnya dengan mengendurkan pegangan tangannya lalu berpindah mengenggam tanganku dan kembali melangkah membawaku menuju parkiran mobilnya.
Begitu tiba di mobilnya, Ditya membukakan pintu penumpang yang berada di depan untukku.
"Saya bawa motor dan saya gak mau ikut bapak." Tegasku sambil menghempaskan genggaman tangan kami.
"Masuk Dek, aku capek debat sama kamu. Please dengerin sekali ini aja." Pintanya lirih.
"Ya udah kalau capek debat sama saya, gak usah bicara sama saya. Toh semuanya udah selesai, Bapak dan saya gak ada hubungan apa-apa."
Aku segera berbalik badan bersiap meninggalkan Ditya, namun lagi-lagi Ditya menarikku dan kini memaksaku masuk ke dalam mobilnya membuatku ingin mengumpati tindakannya. Lalu dia berlari menuju pintu kemudi dan mendudukkan dirinya di sana, baru aku akan membuka suara, tapi melihat wajah Ditya yang menyeramkan aku memilih diam. Aku dulu pernah melihat kemarahan Ditya yang membuatku ngeri, dan sekarang aku sedang tidak ingin melihatnya. Tanpa banyak bicara lagi, Ditya menjalankan mobilnya.
Sepanjang perjalanan, aku hanya membuang tatapanku pada pemandangan di luar jendela, sambil memegangi perutku yang mulai terasa perih. Sedangkan Ditya terlihat fokus menyetir. Tak lama mobil memasuki area salah satu apartemen mewah yang ada di kota. Aku menolehkan kepala pada Ditya.
"Ini di mana?" Tanyaku. Ditya tidak menjawab, tetap diam fokus memarkirkan mobilnya. Aku mengeram sebal.
"Mas?" Aku keceplosan memanggilnya Mas saking geramnya. Saat sadar, aku segera menutup mulutku. Sekilas aku melihat Ditya tersenyum tipis saat mendengarku memanggilnya mas. Lalu Ditya melepas seatbeltnya dan memiringkan tubuhnya menghadapku.
"Ini apartemenku Dek..." ucapnya yang membuatku mengernyitkan dahi, melihatku bingung Ditya melanjutkan ucapannya. "Kita bicara dulu di apartemenku, aku mau jelasin semuanya sama kamu. Aku gak bisa jelasinnya kalau di resto atau cafe."
Aku menggelengkan kepala tak habis pikir dengan Ditya, di saat bersamaan aku meringis merasakan perih di perutku.
"Gak, saya gak mau ke apartemen bapak." Aku kembali menggunakan bahasa formal. "Saya mau pulang sekarang," belum selesai aku melanjutkan ucapanku, aku meringis saat merasakan perih dan nyeri di perutku. Ditya yang melihat aku meringis kesakitan, segera berlari keluar dari mobil berputar menuju pintu di sisiku.
"Ayo masuk dulu Dek, kita makan dulu. Maag kamu udah mulai kambuh." Ucapnya terdengar khawatir dan segera memegang lenganku untuk menuntunku turun dari mobilnya. Namun aku menepis tangannya yang ada di lenganku, terdengar helaan nafas dari Ditya.
"Dek, udah cukup ya keras kepalanya. Dari tadi aku udah mencoba sabar, aku tahu kamu keras kepala. Kalau kamu bantah lagi, aku bakalan gendong kamu sekarang." Ancamnya.
Aku berdecih sebal mendengar ucapannya, "anterin aku pulang, aku gak mau ke apartemen kamu."
Tanpa banyak bicara lagi, Ditya langsung saja menaruh satu tangannya di belakang leherku dan satu tangannya lagi di bawah lututku lalu menggendongku turun dari mobilnya dan menutup pintunya dengan kaki. Aku yang segera menyadarinya langsung berontak, memintanya menurunkanku.
"Bisa diem gak?atau kita berdua bisa jatuh Dek." Peringatnya dengan matanya yang menyorotku tajam membuatku menundukkan kepala.
Tak ingin jatuh konyol dan saat merasakan perih kembali di perut, aku akhirnya pasrah sambil memegangi perutku.