Setelah acara gala dinner yang sebagian besar di habiskan dengan makan-makan dan bercengkrama antar karyawan berakhir juga pada pukul 22.00. Dari meja tempat kami duduk tadi, aku dapat melihat Ditya terus-terusan menatap ke arahku. Bukannya aku kepedean, tapi aku sempat beberapa kali memergokinya saat menatapku, tatapannya terlihat sendu membuatku tak kuat menatapnya lama.
Terdengar suara dering dari ponsel yang aku letakkan di atas meja, nama Putra tertera di sana. Segera aku mengangkatnya, karena sedari tadi aku menunggunya.
"Ya halo Put."
"Gue udah mau deket Dis, lo tunggu di lobby ya."
"Oh oke kalau gitu."
"Gak usah buru-buru, lo siap-siap aja. Ini jalannya masih merambat, macet banget."
"Iya gak apa-apa Put. Ya udah, gue tutup teleponnya ya, bye."
Tanpa menunggu lama, aku segera memasukkan ponselku ke dalam tas dan berpamitan pada Mas Hendri dan Mas Hasni yang masih bertahan di sana sambil menungguku di jemput. Sedangkan Mbak Dea dan Mbak Asri sudah pulang dari tadi karena sudah di jemput suami masing-masing.
"Mas Hendri, Mas Hasni gue pamit dulu ya." Pamitku
"Loh udah di jemput?"
"Udah mas, udah mau deket. Ini mau nunggu di lobby. Gue duluan ya."
"Ya udah hati-hati ya."
Aku segera berdiri dan berjalan menuju lobby. Duduk di salah satu kursi sofa yang disediakan di lobby, mengambil ponsel di tas dan memainkannya sambil menunggu kedatangan Putra.
Di sampingku, aku merasakan pergerakan sofa yang di duduki seseorang membuatku mengangkat wajah dari layar ponselku. Aku terkesiap, tidak menyangka Ditya yang duduk di sampingku karena seingatku tadi dia masih terlibat obrolan bersama beberapa petinggi perusahaan. Dari jarak sedekat ini, aku dapat mencium parfum yang digunakannya, parfum yang sama dengan 7 tahun yang lalu. Membuatku mengingat kenangan masa lalu saat untuk pertama dan terakhir kalinya kami merayakan ulang tahun Ditya aku memberikannya hadiah parfum itu. Menggelengkan kepala untuk mengusir bayangan masa lalu, aku memilih beranjak pergi saja karena berada di dekatnya membuat dadaku kembali sesak. Kurasakan pergelangan tanganku di pegang dan di tarik membuatku kembali duduk.
"Jangan pergi dulu, aku mau ngomong dek."
Aku hanya bisa menghela nafas, lalu menatap tangannya yang masih berada di pergelangan tanganku, "oke silahkan ngomong, tapi lepaskan dulu tanganku."
Ditya menggelengkan kepalanya, menolak permintaanku malah dia mengenggam tanganku. Aku berontak, menolak genggaman tangannya, aku takut rasa nyaman saat tanganku berada di genggamnya akan muncul kembali karena sejujurnya aku sangat merindukan hangatnya genggaman tangan Ditya.
"Diam dulu dek, tenang. Aku cuman pengen genggam tangan kamu."
"Lepasin gak," ucapku sekali lagi dengan nada ketus.
"Dek...," ucapnya lirih membuatku menghentikan gerakan tanganku yang berusaha melepas genggamannya.
"Mas benar-benar minta maaf dek."
"Minta maaf?emang Pak Ditya punya salah sama saya?"
"Dek, please jangan gini. Kamu jangan bersikap kayak kita saling gak kenal. Aku minta maaf buat sikapku selama 7 tahun ini"
Aku mendengus, muak mendengar ucapannya, "oke saya maafin, udah selesai 'kan?" Jawabku agar cepat selesai. "Sekarang bisa lepasin tangan saya. Saya gak mau ada orang yang salah paham." Lagi-lagi aku berusaha melepaskan tanganku.
"Disty!"
Aku terkesiap mendengar suara Putra yang memanggilku dari arah belakang dan Ditya yang menyorot lurus ke arah belakangku dengan sorot mata tajamnya. Merasakan genggaman tangan Ditya mulai melonggar, aku segera melepaskannya. Aku membalikkan badan untuk menghadap Putra dan mendapati Putra yang kini juga melemparkan tatapan tajam sarat akan amarah.
Segera aku menghampiri Putra, mencegahnya untuk menyerang Ditya karena aku tahu betapa dia membencinya. Semenjak malam itu, saat Putra menemukanku menangis di trotoar dekat kost Ditya dan mengetahui bahwa Ditya meninggalkanku begitu saja tanpa alasan, Putra begitu marah bahkan dia berjanji akan langsung menghajar Ditya begitu dia menemukannya.
Dan hari ini, untuk pertama kalinya mereka kembali bertemu, sorot mata Putra masih berkobar marah. Aku memegang lengan Putra untuk mengalihkan perhatiannya.
"Put...," panggilku. Putra sempat mengalihkan matanya untuk menatapku, sorot matanya berubah lembut. "Pulang sekarang aja ya, aku udah selesai." Ajakku segera karena aku semakim merasakan aura mencekam.
"Kamu gak apa-apa?" Tanyanya seraya mengusap puncak kepalaku dan aku menjawab dengan gelengan kepala. "Si brengsek itu gak ngapa-ngapain kamu kan?"
Tepat setelah Putra bertanya, aku mendengar suara dengusan dari arah depan kami. Membuat Putra kembali menatap ke depan, ke arah Ditya berdiri. Terlihat tatapan Ditya kini terarah pada tanganku yang sedang memegang lengan Putra, tatapan marah dan terluka terlihat dimatanya.
Putra yang menyadarinya, sengaja memancing emosi Ditya dengan merubah pegangan tanganku di lengannya dengan mengenggam tanganku. Sedangkan aku hanya bisa menggigit bibirku, tiba-tiba ada perasaan bersalah dalam hatiku saat Putra mengenggam tanganku.
"Kenapa?lo gak terima gue sebut brengsek?" Tantang Putra pada Ditya.
"Lo gak perlu ikut campur." Jawabnya dengan suara tertahan.
"Gak perlu ikut campur kata lo?urusan Disty sama lo sekarang menjadi urusan gue juga. Semenjak lo ninggalin dia 7 tahun lalu, sejak itu urusan Disty menjadi urusan gue juga."
"Putra, stop. Aku pengen pulang sekarang please." Ajakku sekali lagi.
"Pulang sekarang?oke, kita pulang sekarang." Melihat raut mukaku yang memelas, akhirnya Putra menyetujui ajakkanku.
Baru saja aku bisa bernafas lega karena Putra mau aku ajak pulang, kembali aku mendengar suara Ditya berbicara.
"Dek, aku belum selesai bicara sama kamu. Please kasih aku kesempatan buat bicara."
"Gak ada kesempatan buat pengecut seperti lo." Putra yang menjawab karena aku yang masih terdiam.
"Gue udah bilang lo gak perlu ikut campur."
"Sayang!" Terdengar suara perempuan memanggil Ditya dari arah belakangku dan Putra. Entah dia tidak menyadari keberadaan kami atau memang tak menghiraukan keberadaan kami, dia berlari dan langsung memeluk Ditya.
Tubuhku membeku terkejut melihat pemandangan yang ada di depan mataku. Aku juga dapat merasakan tubuh Putra membeku sama seperti, tidak percaya dengan apa yang kami lihat saat ini. Terlihat Ditya kini menatapku dengan panik, dan berusaha melepaskan pelukan perempuan itu. Segera aku memalingkan wajah begitu merasakan airmata yang menetes dari mataku, rasa sesak dan sakit langsung merambati hatiku.
Begitu pelukan mereka terlepas, Ditya berusaha berjalan mendekatiku, tapi tangannya ditahan oleh perempuan itu. Dan jangan lupakan tatapan sinis yang perempuan itu berikan saat menatapku dan Putra. Tanpa banyak bicara, Putra menarik tanganku yang masih berada dalam genggamannya untuk dibawanya menuju mobil. Aku masih bisa mendengar suara Ditya memanggil namaku saat aku melangkah meninggalkannya.