Hari demi hari berlalu, beberapa bulan pun berlalu. Hubunganku dengan Ditya makin dekat. Tak jarang di akhir pekan kami akan keluar bersama sekedar untuk nongkrong atau berburu film baru di bioskop, selain itu juga terkadang Ditya memintaku menemaninya ke perpustakaan umum untuk mengerjakan tugas sekolah atau belajar persiapan ujian kelulusanny, seperti sore ini.
"Dek lo gak apa-apa gue ajakin ke sini?"
"Gak apa-apa kali mas, aku malah seneng jadi bisa baca novel gratis"
"Bunda lo gimana?"
"Bunda?biasa aja sih, yang penting katanya harus pamit dulu sama kalau pulang jangan ke malaman."
Ditya mengangguk-angguk mengerti. Lalu dia kembali mengerjakan tugasnya dan aku kembali menekuni novel. Tapi tak lama, Ditya berpindah posisi yang awalnya berada di depanku, dan berpindah ke sampingku. Aku yang menyadari kursi sampingku yang berderit, membuatku menolehkan kepala ke samping, lalu mengerutkan kening melihat Ditya yang sudah menatapku dengan gugup.
"Dek..." ucapnya dengan suara yang terdengar bergetar membuatku semakin bingung. Aku hanya mengangkat sebelah alisku memintanya tanpa kata melanjutkan ucapannya.
"Lo mau gak jadi cewek gue?"
"Hah?" Pekikku tertahan saat menyadari kami masih di perpus umum.
"Mungkin ini pernyataan cinta yang gak romantis, tapi gu--aku serius mau kamu jadi cewek aku. Udah dari bulan lalu mau bilang, tapi gagal terus. Sebelum aku fokus untuk ujian kelulusan, aku mau nyatain perasaanku. Aku sadar setelah lulus SMA, kita akan beda kota tapi dengan ngikat kamu jadi pacarku, bisa bikin aku seenggaknya tenang. Dek, kamu mau 'kan jadi cewek aku?" Jelasnya panjang lebar. Aku tetap bergeming, takut kalau Ditya cuman bercanda.
"Dek?" Panggilnya lagi sambil mengenggam tanganku, karena melihat aku yang tak juga mengeluarkan suara. Aku menatap ke dalam matanya, terlihat ketulusan di sana, Ditya juga menatapku dengan matanya yang teduh yang selama ini telah berhasil membuat hatiku tertaut padanya.
Mengambil nafas sejenak lalu menghembuskannya, dengan tersenyum, aku pun menganggukkan kepala sebagai jawaban.
"Kamu terima aku?" Tanyanya lagi tak percaya.
Sekali lagi aku menganggukkan kepala dan berkata, "Iya aku terima kamu, Mas."
Tanpa terduga dia langsung memelukku sambil membisikkan kata terima kasih berkali-kali karena sudah menerimanya yang ku balas dengan usapan di punggungnya. Karena terlalu larut dalam kebahagiaan, kami lupa masih berada di perpustakaan umum
"Huss jangan berisik, ini perpustakaan. Kalau mau pacaran keluar sana!" Tegur salah satu pengunjung yang duduk tidak jauh dari kami.
Sadar kesalahan, kami meminta maaf dan Ditya langsung mengajakku membereskan buku-buku untuk meninggalkan perpustakaan umum.
Menaiki motor, Ditya mengajakku untuk mampir ke kedai ice cream katanya untuk merayakan hari pertama kami jadian.
Saat di jalan, tangan Ditya meraih tanganku untuk dibawanya melingkari pinggangnya. Jujur aku merasa deg-degan dengan posisi boncengan seperti ini karena ini pertama kalinya aku melingkarkan tanganku di pinggangnya.
"Mulai hari ini sampai seterusnya, kalau bonceng aku harus pegangan kayak gini ya." Ucapnya sambil mengusap tanganku yang berada di pinggangnya.
Aku menumpukkan daguku pada bahunya, "kenapa emangnya?biasanya juga gak pegangan gak apa-apa tuh."
"Sekarang 'kan udah beda, kalau kamu pegangan kayak gini tuh rasanya kayak di peluk sepanjang perjalanan."
"Idih modus banget sih Mas," protesku sambil mencubit pelan pinggangnya.
"Aduh!jangan cubit-cubit Sayang, bahaya lagi di jalan ini." Panggilan Sayang yang keluar dari mulutnya membuatku tersipu malu.
"Lah kamu sih, modus aja."
Yang kurasakan saat ini hanyalah bahagia. Momen ini yang sudah aku nantikan, akhirnya cintaku kali ini tidak bertepuk sebelah tangan lagi. Meskipun dalam beberapa bulan lagi kami akan dipisahkan oleh jarak karena Ditya yang harus menempuh pendidikan kedokteran di Universitas di kota Male, aku percaya kami akan dapat melaluinya.
Aku semakin mengeratkan tanganku di sekeliling pinggangnya, Ditya pun menepuk-nepuk pelan tanganku dengan sebelah tangannya seolah membalas pelukanku.
***
Sejak saat itu kami pun resmi menjadi sepasang kekasih. Ditya benar-benar memperlakukanku secara spesial, dia menunjukkan begitu dia menyayangiku. Di sekolah tak segan dia mengantarku hingga ke kelas atau menghampiriku ketika waktu istirahat. Beberapa kali juga dia ikut bersamaku berkumpul bersama sahabatku atau aku yang ikut bersamanya saat berkumpul bersama temannya.
Satu hal yang berubah adalah, Ditya yang mulai posesif saat aku berdekatan dengan Putra. Dia yang mengetahui sejarahku bersama Putra menjadi sensitif, saat berkumpul dan ada Putra di dalamnya, dia akan bersikeras untuk ikut atau kalau dia tidak ikut, maka aku juga dilarang untuk ikut. Sesensitif itu dia dengan Putra, padahal aku sudah menjelaskan padanya bahwa hubunganku dengan Putra sudah clear dan kami juga sudah berdamai dengan perasaan kami masing-masing.
"Aku percaya sama kamu Sayang. Tapi aku gak percaya sama Putra." Sanggahnya saat itu ketika aku memaksa untuk berkumpul bersama sahabatku namun dia yang sibuk les persiapan ujian gak bisa ikut datang bersamaku.
"Putra udah ada Anet, Mas. Aku juga udah ada kamu, apalagi yang bikin kamu gak percaya."
"Dulu dia aja meskipun ada ceweknya pernah asal nge-klaim kamu miliknya. Sekali aku bilang gak ya gak Dek." Ucapnya lalu menutup telepon begitu saja.
Seperti biasa aku akan menuruti keinginannya, ya meskipun setelah itu pasti ada drama aku yang ngambek karena kesal harus membuat alasan pada sahabatku. Dan Ditya akan membujukku hingga aku mau bicara lagi dengannya, karena saat aku marah atau ngambek akan mendiamkannya hingga 2 hari.
Ujian kelulusan Ditya kurang dari sebulan lagi. Dia yang mau ujian, aku yang ikutan deg-degan. Selama 1 bulan ini aku membatasi pertemuan kami, aku ingin dia fokus pada ujiannya. Namun dasarnya Ditya yang bucin, selalu ada saja alasan untuk bertemu. Dengan sengaja dia akan datang ke rumah, meskipun akhirnya dia ke rumah dengan membawa serta buku-bukunya dengan dalih kalau belajar bersamaku, akan membuatnya bersemangat.
Untuk kuliahnya Ditya meneruskan di Universitas Wijaya yang berada di kota Male dengan jurusan Kedokteran sesuai cita-citanya. Oleh orang tuanya Ditya di bebaskan untuk memilih jurusan sesuai keinginannya. Setahuku, keluarganya memiliki perusahaan yang bergerak di farmasi, kalau gak salah dulu Bunda pernah membahasnya, tapi karena dulu aku masa bodoh dengan urusan keluarga Ditya, jadi tidak terlalu aku hiraukan.
Setelah aku dan Ditya pacaran, aku jadi dekat dengan ibunya. Yang dulunya hanya saling sapa dan basa basi sekilas, aku mulai sering di ajak Ditya main ke rumahnya, begitu juga dengan Ditya yang sering main ke rumahku. Meskipun awalnya Ditya canggung, lama-lama dia bisa akrab dengan Ayahku bahkan tak jarang bermain catur bersama.
Dan yang baru aku tahu setelah dekat dengannya, sifat Ditya memang sedikit introvert. Makanya dulu jarang sekali bergaul dengan pemuda-pemudi di perumahan ini, Ditya lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah lebih tepatnya di kamar untuk bermain game atau hanya keluar untuk bermain basket, mengerjakan tugas bersama temannya. Pantas saja dulu saat pertama kali aku berangkat bersamanya, Ditya benar-benar irit bicara dan itu membuat canggung. Tapi sekarang secara perlahan, bersamaku Ditya mulai membuka diri tidak terlalu introvert seperti dulu.