"Apa maksudnya ini?" Hiashi hampir saja meluapkan emosinya, jika saja Minato tak segera mencegah.
"Tolong tenang Tuan Hiashi, Hinata. Saya akan menjelaskan semuanya."
Minato menjelaskan perihal pembatalan sepihak yang dilakukan oleh Menma. Bahkan mereka pun tidak mengetahui alasannya. Bahkan sekarang Menma sendiri tidak diketahui keberadaannya.
"Sekali lagi, mohon maafkan kami. Saya tahu perbuatan Menma tidak bisa di maafkan. Jika anak itu kembali saya yang akan memberi pelajaran." Dia mengucapkan dengan sedikit membungkukkan badannya. Kushina hanya bisa menangis, ia teramat kecewa dengan putra sulungnya itu.
Hiashi hanya menghela nafas pelan. Kemudian dia memegang pundak Minato. "Sudah, tidak usah seperti itu. Kau tidak salah, mungkin memang belum waktunya putriku bertemu dengan jodohnya."
Hinata hanya bisa menunduk meratapi nasibnya. Kali ini dia gagal lagi. Betapa bodoh dirinya.
"Lalu apa tadi maksud anak bungsumu itu? Dan tadi apa dia bilang sensei pada Hinata?"
Semua atensinya beralih pada Naruto yang hanya menatap datar gadis di depannya.
"Dia adalah guruku di sekolah." Jawabnya enteng.
Hiashi, Minato dan Kushina terkejut dengan apa yang di ucapkan Naruto. "Hinata, jadi..." Kushina memijit pelipisnya yang terasa pening. Bisa-bisanya ia akan menikahi gurunya sendiri.
"Aku akan menikahinya." Hinata mendongakkan wajahnya. Ia menatap Naruto penuh tanya.
Naruto seakan paham dengan tatapan mata gurunya. Ia beranjak berdiri dan meminta Hinata untuk berbicara berdua dengannya.
"Maaf, saya ingin berbicara dengan Hinata sensei." Naruto beranjak berdiri, ia sudah lebih dulu berjalan ke arah balkon.
Hinata benar-benar di buat bingung, entah bagaimana nasib ini mempermainkannya. Ia menatap wajah ayahnya meminta persetujuan. "Kau temui dulu saja dia. Setelahnya kau bisa memutuskan." Ucap Hiashi bijak. Hinata hanya menghela nafas pelan, kemudian dia meminta izin untuk menemui Naruto.
Saat tiba di balkon, ia bisa melihat punggung Naruto. Siswa itu lebih tinggi darinya, tubuhnya yang atletis dan kulit tan yang terlihat eksotis. Dia masih tak menyangka bahwa ini siswanya yang pendiam.
"Menangislah." Katanya tanpa memandang Hinata dan masih memunggungi.
"Hm?"
"Jika menangis disini, orang lain tidak akan melihatmu." Dia tahu, sedari tadi Hinata menahan rasa sakit dan kecewanya.
Hinata rasanya tak bisa berkata-kata. Ia menggigit bibir bawahnya, matanya terasa panas. Dan segera ia menutupi wajahnya dan menangis. Ia menangis bukan karena di tinggal Menma, hanya saja dia meratapi kebodohannya. Sudah dua kali dia gagal seperti ini meski kasusnya berbeda, tetap saja rasanya menyesakkan. Ia benar-benar di buat malu oleh dirinya sendiri. Apa kali ini ia benar-benar harus menutup hatinya?
Seteleh beberapa menit, isakan Hinata mulai terdengar pelan. Ia segera menepis air matanya. Mata dan hidungnya terlihat memerah.
"Apa merasa lebih baik?" Suara baritone itu mengharuskan Hinata menatap lawan bicaranya.
Ia hanya mengangguk lalu bertanya. "Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Bukankah sudah jelas?" Naruto berjalan perlahan menuju Hinata. Satu tangannya ia masukkan ke dalam saku.
"Ma-maksudmu a-apa?" Hinata berpura-pura tidak tahu, bahkan ia tergagap saat tahu Naruto menghampirinya. Kakinya perlahan mundur.
"Sensei, menikahlah denganku." Langkah mereka terhenti saat di rasa Hinata tak bisa lagi melangkah mundur karena ada pembatas balkon di belakangnya. Naruto bisa melihat jelas kedalam ametis cantik tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
I LOVE BRONDONG [✓]
General FictionBisakah Hinata mencintai seseorang yang usianya terpaut jauh dengan dia? Dengan pria seumuran saja dia selalu di khianati. Lalu bagaimana jika sama brondong? . . Ini hanya cerita anti mainstream. Kisah tentang Naruto dan Hinata yang ringan berasa m...