3 Tahun kemudian...
.
.
.
.
."Aku pulang." Suara baritone itu menggema di ruangan.
"Selamat datang Naruto."
Kening pria itu mengernyit. Itu bukan istrinya yang menyambut. Dengan perlahan ia berjalan menuju dapur. Mendapati seorang wanita bersurai panjang berwarna merah.
"Kau pasti mencari istrimu. Mama menyuruhnya untuk istirahat. Usia kehamilan tua terkadang sulit memiliki kualitas waktu tidur." Katanya tanpa memandang Naruto. Wanita yang tampak cantik di usianya itu masih sibuk dengan peralatan masak.
Naruto masih memandang Kushina dari belakang. Ada rasa rindu di hatinya. "Sedang apa Mama disini?"
Wanita itu berbalik seraya tersenyum lembut. "Dulu cucu pertama dari Menma, Mama tidak pernah ada, Hanna melewati itu sendirian. Saat itu juga Menma masih tak peduli. " Kemudian dia berbalik kembali. Melanjutkan acara memasaknya.
"Untuk menebus itu semua, maka sekarang Mama dan Papa ingin selalu ada untuk cucu-cucuku. Mama juga ingin memantau keadaan Hinata. Meski terlambat, tapi tak apa kan, Naru?"
Ada perasaan haru dalam hati Naruto. Jika dulu dia kurang kasih sayang dari orang tuanya, maka kali ini ia pastikan anaknya akan mendapatkan kasih sayang lebih. Naruto berjalan mendekat. Ia memerhatikan sang Ibu yang sibuk memasak.
"Sebaiknya kau istirahat juga. Ini akhir pekan, gunakan waktumu untuk Hinata sepenuhnya. Kalau makanan sudah siap, akan Mama panggil." Ujarnya dengan lembut.
Selama ini Naruto melanjutkan pendidikannya di Universitas dalam negeri. Tidak jauh dari kotanya. Bukan tanpa alasan, tentu saja karena di tak mau jauh dari Hinata. Dia juga tak mempermasalahkan istrinya untuk bekerja. Meskia ia sudah bekerja di perusahaan ayahnya, bukan berarti itu tak cukup dalam hal finansial. Ia hanya ingin Hinata menikmati karirnya. Namun sejak di nyatakan hamil, Naruto sudah melarang Hinata untuk bekerja. Tentu saja, calon ibu itu tidak membantah.
"Kapan Mama akan kembali?"
Kushina menoleh pada putra bungsunya dan is tersenyum. "Kami akan menetap Naru. Papa memutuskan pensiun. Biar Menma dan dirimu saja yang mengurus usaha." Dia menyendokkan sedikit kuah masakannya pada sendok, dan menyodorkannya pada bibir Naruto.
"Cobalah Nak, dulu kau suka sekali makanan ini. Mama tidak tahu, apa kau masih menyukainya atau tidak. Maaf jika rasanya mungkin tak seenak istrimu." Naruto menuruti, mengecap rasa itu.
"Bagaimana?"
"Enak. Sudah lama aku tak merasakannya." Ada sesak di dada sang ibu. Dia bahkan lupa kapan terakhir memasakkan makanan untuk Naruto.
Suasana canggung kembali. Kushina berusaha tersenyum, fikirnya Naruto pasti masih kecewa.
Ia kembali, membalikkan tubuhnya."Kau tak senang, kami disini Naru?" Ada persaan sedih di hati Ibu itu. Mungkin ia tak punya harapan bisa dekat dengan keluarga kecil anaknya. Kushina menahan embun di matanya.
"Apa tak akan merepotkan Mama, jika harus memantau istriku?" Wanita cantik itu membalikkan badannya kembali. Dia terharu mendapati anaknya tersenyum lembut.
Kushina menggeleng pelan. Tak kuasa menahan air matanya. "Tidak Naru. Hinata juga anakku. Terimakasih sayang. Sudah mengizinkan Mama."
"Jangan berterima kasih Ma. Tapi maafkan aku." Naruto hendak bersimpuh di kaki sang Ibu. Sudut matanya sudah berair. Tapi Kushina menahannya. Ia lebih memilih memeluk sang putra yang lebih tinggi darinya.
Kushina tak bisa membendung air matanya. Ia menangis terharu. "Putraku. Maafkan Mama selama ini sayang."
"Terimakasih, hanya ini yang aku inginkan. Aku hanya ingin kalian berada di dekatku." Naruto memeluk sayang sang Ibu. Sungguh ia merindukan pelukan wanita yang telah melahirkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I LOVE BRONDONG [✓]
General FictionBisakah Hinata mencintai seseorang yang usianya terpaut jauh dengan dia? Dengan pria seumuran saja dia selalu di khianati. Lalu bagaimana jika sama brondong? . . Ini hanya cerita anti mainstream. Kisah tentang Naruto dan Hinata yang ringan berasa m...