Menjenguk

1.1K 111 9
                                    

"Mau kakak antar sampai kamar?"

"Tidak perlu."

Hinata yang baru saja muncul di belakang mereka, hanya bisa memaklumi sikap ketus Naruto pada Menma. Kejadian tempo lalu mungkin masih tidak bisa di maafkan.

"Kau yakin? Tidak ingin langsung istirahat?" Tanya Hinata dengan lembut. Naruto kini sudah duduk di sofa dengan bantuan Menma. Awalnya dia ingin menolak bantuan sang kakak. Namun karena tubuhnya yang sangat lemas, terpaksa menerima.

"Iya"

"Baiklah, tunggu sebentar aku buatkan minum untuk kalian."

Kini hanya ada Menma dan Naruto di ruang tamu. Lelaki pirang itu tampak memejamkan matanya serta menyamankan posisi duduk. Wajahnya tidak sepucat tadi. Hanya kemerahan di sebabkan oleh demam.

Menma memperhatikan adiknya dari ujung kepala hingga kaki, ia merasa waktu berlalu begitu cepat. Adik kecilnya yang selalu ia banggakan kini tumbuh jadi laki-laki dewasa. Jika mendengar penuturan Hinata ketika di rumah sakit tentang kegiatan Naruto, ia jadi yakin adiknya ini tidak pernah main-main dalam melakukan hal dan itu sangat bertanggung jawab. Menma jadi malu sendiri, justru dialah yang sembrono dalam memutuskan sesuatu.

"Jika kau seperti ini, bagaimana bisa kau menjaga Hinata dan anak kalian nanti?" Menma  mencoba menghibur adiknya. Dan langsung dapat delikan tajam.

"Hahah. Aku sudah memberi tahu Papa dan Mama soal keberhasilanmu."

"Sepenting itukah?" Naruto tampak biasa saja ketika membahas orang tua.

Menma hanya menghela nafas pelan. Ia memang prihatin terhadap adiknya, padahal kedua orangtua mereka diam-diam selalu menanyakan kabar pada Menma.

"Tentu saja Naruto. Bagaiamanapun mereka itu orang tua kita. Dia peduli padamu. "

Naruto hanya tersenyum kecut."Aku tidak percaya." Lirihnya.

"Jika kau tak percaya, tanya saja pada istrimu." Saat itulah Hinata sudah datang membawa kopi dan teh. Serta beberapa cemilan.

"Aku tahu. " Naruto memang mengetahui istrinya itu selalu berkabar dengan ibunya. Tapi bukan itu yang ia butuhkan. Semua orang bisa berkomunikasi lewat sosial media. Kata orang itu memudahkan tanpa kita bertemu secara langsung. Tapi apa salah yang di inginkan Naruto itu nyata, ada dan rasa hangat. Bukan melalui virtual.

"Silahkan di minum." Hinata ikut bergabung dengan mereka berdua. Menma tampak menyesap kopinya. Lalu ia kembali meletakkan cangkirnya. 

"Naruto, maafkan perkataan kakak waktu itu. Sepertinya kakak memang mabuk jadi fikiranku tak terkontrol. Bisa kau maafkan?"

"Hm"
Ya ampun irit sekali dia bicara.

"Baiklah, kakak anggap itu sudah di maafkan." Kemudian Menma mendekat dan menjitak sayang kepala adiknya. Naruto hanya mendengus. Itu adalah kebiasaannya waktu kecil.
Hinata hanya tersenyum, sebenarnya mereka saling menyayangi. Tapi karena sebuah kesalah pahaman membuat mereka terlihat jauh.

"Sepertinya aku harus kembali. Istri dan putraku pasti menunggu." Menma melirik jam di tangannya.

"Putra?" Tanya Naruto dan Hinata bersamaan.

Menma hanya bisa tersenyum senang." Aku hampir lupa. Istriku sudah melahirkan satu minggu yang lalu."

"Kakak sudah mengakui?"

"Tentu saja. Kakak menyadari itu ketika hidup dengannya. Sejak awal memang aku tak peduli dengannya. Tapi dia begitu sabar menghadapi sikap dinginku. Dia bahkan dengan penuh cinta mempertahankan janinnya, hingga anak itu lahir. Hatiku menghangat saat melihat duplikatku. Seperti melihat diriku sendiri." Tatapannya menyendu kala ia mengenang sang istri yang sempat ia acuhkan.

I LOVE BRONDONG [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang