13. Luka yang Tertinggal

254 55 14
                                    

Pagi ini Abian masih belum pulang ke rumah. Jadi Legina terpaksa membawa Ara ke kantor. Sejujurnya mood Legina sedang buruk, mengingat pertengkaran intensnya tadi malam. Tapi apapun yang terjadi, dia tetap harus bersikap profesional jika di tempat kerja.

"Nih Ara main ini ya. Jangan kemana-mana. Duduk di sini aja. Mama kerja ya," kata Legina sambil memberikan ponselnya yang sedang memutar video kartun pada Ara.

Ara mengacungkan jempolnya dengan raut lucu. Setelah itu Legina kembali duduk di bangkunya. Ada tiga rekan kerjanya duduk melingkar di sana. Mereka sedang diskusi internal.

"Mbak Gina tumben deh bawa anak? Biasanya kan bapaknya yang jaga, Mbak?"

"Hm, lagi ada kerjaan juga bapaknya," elak Legina, lalu cepat-cepat mengalihkan dengan, "oh ya, file yang di minta bos kemarin udah jadi kamu follow up ke Digta belum? Bulan depan training tahap pertamanya ya."

"Oh iya, Mbak. Jadi yang itu...."

Tiga puluh menit kemudian Ara mulai bosan. Dia melepas ponsel sembari mengucek mata. Setelah itu dia berjalan ke arah Legina. Menarik blazer sang ibu.

"mah mo mam mii"

"Hah? Makan mie? Aduh, nanti ya, Ara. Mama mau kerja dulu." kata Legina.

Ara menggeleng kuat, "miii. mo miii sekalangggg"

Legina mengabaikan, "Lanjut aja. Ini jadi soal campaign kita bakal akomodasikan untuk training di...."

Merasa tak diperhatikan jurus satu-satunya setiap anak adalah nangis. Ya. Ara nangis. Kenceng banget. Dia sampai duduk di lantai terus mukul-mukul lantai.

Suaranya tentu menjadi distraksi besar. Beberapa rekan Legina mencoba menenangkan tapi Ara malah makin kuat nangisnya. Legina memejamkan mata kesal.

"Udah biarin aja. Kita lanjut—"

"maaaaaa huwweeee!!!"

"ARA!! YA ALLAH DIAM!"

Berakhir sudah batas kesabaran Legina. Wanita itu langsung bangun lalu menyeret Ara untuk duduk di sofa lagi. Setelah itu Legina menumpu lutut demi menyamai tinggi Ara.

"Kamu bandel ya?! Kan mama bilang duduk di sini aja, main hape. Mama mau kerja ini loh!" 

Ara tersedu, "ala mo mi..."

"Ya nanti kata mama! Nanti! Ngerti gak?! Gak bisa nunggu kamu?! Udah kebiasa banget dimanjain ya jadi bandel?! Apa yang kamu mau harus diturutin langsung gitu hah?!"

Tapi benar, selama ini Legina tidak pernah melihat Ara tantrum sampai memukul lantai dengan histeris begitu. Hanya karena apa yang dia mau tidak dikabulkan detik itu juga. 

"papaa huweee"

"Gak ada papa! Diem, Ra! Kamu lama-lama mama cubit ya?! Diem nggak?!" 

Legina beneran nyubitin pinggang Ara. Anaknya makin kejer. Ngeliat Ara 'dihukum', rekan-rekannya Legina jadi gak tega. Tapi gak ada yang berani negur soalnya Legina atasan mereka dan kayaknya Legina lagi marah banget. Mereka bisa menebak ada masalah rumah tangga.

Sampai kemudian seseorang mengetuk ruangan, "Mbak Gina, maaf menganggu... itu... mbak di panggil pak bos ke ruangannya."

Dengusan Legina tersiar. Ara udah tersedu-sedu. Legina mengusap wajahnya gusar sebelum meninggalkan ruangan itu dan menitipkan Ara pada rekan kerja di dalam ruangan.

Membawa anak ke kantor memang bukan ide yang bagus. Karena itu Legina memutuskan pindah ke rumah orang tuanya saja. Setidaknya Ara ada yang jaga kalau dia kerja. Jadilah sore itu, sepulang dari kantor dia sudah mengepak pakaian ke dalam koper besar. Lalu memesan gocar.

Ara lagi minum susu di ruang tengah sambil nonton tv. Perlahan Legina membuka baju di pinggang anaknya, sadar kalau tadi siang dia mencubit Ara. Tapi untung tidak sekeras itu. Tidak ada bekas apapun di kulit Ara. Legina menghela napas lega. Dia beranjak memeluk Ara.

"Maafin mama ya, Ra. Yok kita pergi sekarang."

"mo mana mah?"

"Ke rumah nenek."

Legina membimbing Ara untuk berjalan. Dia juga menyeret kopernya karena pesan dari si abang gocar memberitahu jika dia sudah dekat.

Pas di ruang tamu mereka bertemu Abian yang baru saja pulang.

"papaaa!"

Ara kegirangan lalu melepas tangan Legina dan memeluk Abian. Melihat koper yang diseret Legina, Abian instan bertanya.

"Kamu mau kemana?"

Legina tak menjawab, dia justru menarik Ara, "Ara, ayo. Abang gocarnya udah mau nyampe. Nenek sama Kakek juga udah nunggu di rumah."

"Legina, kamu serius mau kayak gini? Orang tua kamu nanti mikir gimana kalau kamu balik ke sana pas kita lagi ada masalah?"

"Ara cepet, denger mama gak?!"

"ala mo ama papahh..."

Kesal. Legina berkata tegas, "Kalau Ara mau sama Papa, Ara gak bakal ngeliat Mama lagi. Jadi terserah Ara, mau pilih siapa? Mama atau Papa?"

Ara merengut. Tampang tampangnya bingung banget.

"Gi, can you please stop this? It's just between us. Jangan libatin Ara," Abian memohon. Tapi Legina tak peduli. Dirinya bahkan enggan bersitatap dengan sang suami.

"Ya udah kalau gitu. Mama aja yang pergi."

Abian menyugar rambutnya pasrah, lalu bergegas berjongkok sembari memegang bahu Ara, "Ra ikut mama ya. Nanti papa nyusul."

"janji ya pah nyusul??"

"Iya janji."

Ara berlari ke teras dimana Legina berada. Tepat saat mobil yang mereka pesan datang, Legina lalu memasukkan barangnya dan pergi dengan Ara. Meninggalkan Abian. Di momen Abian mengerti bahwa Legina betulan ingin bercerai dengannya.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



[✔️] BlueberryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang