14. Maaf dan Terimakasih

246 54 43
                                    

"Gina minta cerai?"

Pertanyaan Ibu via sambungan video itu hanya dibalas anggukan kepala dari sang anak. Percuma juga untuk menutupi, toh cepat atau lambat Ibunya akan tau. Lagipula Abian terlalu buntu untuk menyelamatkan keadaan. Legina memblokir nomornya, Abian juga belum sempat mendatangi rumah sang mertua karena terkendala kerjaan.

Jadi untuk sementara ini Abian hanya bisa menceritakan semuanya pada Ibu. Juga tentang kebenaran dari kesalahpahaman yang enggan Legina dengarkan penjelasannya.

"Bian beneran gak selingkuh, Bu. Demi Allah. Noza itu cuma klien. Tapi Egi gamau denger... Egi makin egois dan gak mau ngalah, rasanya Bian udah gak sanggup lagi," Lelaki itu mengusap wajahnya gundah, "Maaf kalau Bian gagal mempertahanin keluarga Bian dan ngecewain Ibu... Maaf Bian gak bisa sebijak Bapak ngadepin masalah kayak gini..."

Di seberang sana Ibu menarik napas dalam melihat figur sang anak sulung yang terkesan amat depresi. Dadanya terasa sesak. Ibu tahu, Abian lah yang lebih kecewa pada dirinya sendiri sekarang.

"Ibu percaya sama Bian. Apapun yang terjadi Ibu gak akan nyalahin Bian. Ibu akan selalu ada di pihak abang. Ya? Bapak di surga juga pasti gitu. Anak Ibu, kalau udah nggak sanggup lagi, kamu bisa berhenti, Nak. Pulang. Ibu sama Lana masih ada di sini kapanpun abang mau kembali."

Konversasi siang itu berakhir setelah Ibu meyakini Abian bahwa semua keputusan ada di dia. Ibu tak ingin ikut campur lebih jauh. Abian yang paling tahu bagaimana keadaan internal dia dan Legina. Entah jika dikatakan hanya masalah sepele, bisa-bisanya berujung cerai. Tapi kan kesanggupan setiap orang itu beda-beda. Yang tidak terlibat seharusnya tidak berhak menghakimi.

Di waktu yang sama dan di tempat berbeda, Legina tengah memindahkan data ke laptop di rumahnya. Hari libur, Legina tetap lembur. Padahal Ara sudah berulang kali narik-narik kausnya, mau ajak bermain. Tapi Legina menghalau sang anak.

"Hus, Ra. Mama lagi sibuk. Main sama Nenek aja yaa, sana."

"Mamah sibuk muluu ih! Mau papa!"

Legina mengabaikan. Diambilnya earphone lalu menyumbat benda itu ke kedua telinga. Dia bahkan abai saat Ara mulai menangis.

Sampai Bunda membuka pintu kamar karena tangisan cucunya. Bunda menarik earphone Legina kesal.

"Legina! Ini anak kamu nangis loh kok dibiarin?!"

"Ya udah Bunda yang diemin dong, Egi ada kerjaan nih ah. Ribet."

Bunda tak habis pikir. Digendongnya Ara sembari menepuk pelan punggungnya untuk menenangkan. Tangisan Ara teredam berganti dengan segukan kecil.

"Pencapaian kayak gimana lagi sih yang mau kamu raih, Gi? Gak ada gunanya karir kamu setinggi langit tapi keluarga berantakan. Prioritas kamu sekarang itu harusnya sebagai Mama dan Istri."

Legina tak membalas. Tapi seratus persen dia tentu mendengar omelan sang Bunda.

"Coba ingat kapan terakhir kali kamu main sama Ara? Kalau udah dewasa Ara mungkin gak bakal perlu main sama orang tuanya lagi. Denger kata Bunda, jangan sampai kamu nyesal nanti gak manfaatin waktu saat ini buat keluarga terutama anak."

Bunda menyudahi wejangannya lalu keluar dari kamar Legina sembari menggendong sang cucu. Menyisakan Legina yang menghela napas dalam setelahnya.

Tiba-tiba ponsel Legina di atas meja berdering. Panggilan suara dari mertuanya. Alias Ibunya Abian. Legina menggigit bibir ragu. Tapi ujungnya tetap mengangkat panggilan itu.

Di awali dengan sapaan salam yang terkesan canggung. Legina yakin Ibu sudah mendengar cerita tentang mereka dari Abian. Legina juga menebak, mungkin Ibu menghubunginya untuk membela Abian.

Namun, ternyata dugaan Legina salah.

"Ibu selalu makasih sama Gina karena udah nemanin Abian selama ini. Jujur Ibu beneran setenang itu ngebiarin Bian lanjut kuliah dan kerja di Jakarta setelah Bian bilang dia punya pacar kayak Gina. Ibu tau, Gina orangnya tulus dan sebaik itu."

Tenggorokan Legina tercekat. Kedua matanya mulai memanas. Lebih dari siapapun, Legina sangat beruntung punya mertua seperti Ibu.

"Dulu waktu Bian bilang dia udah ngelamar Gina, Ibu seneng banget. Rasanya Ibu yang gak sabar nunggu hari pernikahan kalian. Tapi Bapaknya Bian malah meninggal lebih dulu, sampai kita harus nunda pernikahan kalian ya. Maaf dan makasih Gina udah sangat pengertian. Mungkin Gina gak pernah tau, tapi buat Ibu, Gina udah Ibu anggap anak sendiri. Jadi apapun yang terjadi nanti, Ibu harap Gina selalu bahagia ya."

"M-maaf, Ibu...."

"Nggak apa-apa. Pokoknya Gina jangan merasa terbebani. Gina sama Bian yang paling tau apa solusi terbaik buat kalian. Kedepannya pasti akan lebih berat lagi masalah rumah tangga itu Gi, jadi tanya hati Gina ya, masih sanggup nggak? Kalau terlalu buntu minta bantu pada Allah ya, Nak. Untuk sekarang, kalau memang cerai adalah jawaban terbaik menurut Gina, insyaAllah Ibu ikhlas."

Ketika panggilan telepon berakhir, Legina meremat ponselnya di tangan. Ingatannya memutar pembicaraannya dengan Noza pada malam itu. Sesuatu yang memantik Legina untuk menuduh Abian berselingkuh.

"Iya Mbak Gina, Mas Bian kayaknya ketiduran deh abis ngobrol sama saya. Katanya udah lama gak senyaman ini. Saya gak tega mau bangunin. Boleh gak mbak buat malem ini aja biarin dia tidur sama saya? Mbak Gina tenang aja, kita make pengaman kok."

"Kamu gila ya? Saya ke sana sekarang, dimana alamat—"

Kala itu Noza langsung memutuskan panggilan secara sepihak. Legina memang tidak tau alamat rumah Noza dan dia pun baru pulang lembur, dengan banyak pikiran begitu Legina tidak bisa lagi berpikir jernih setelahnya.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[✔️] BlueberryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang