happy reading
***
Sudah dua hari berlalu, tingkah Fariz masih dingin juga pada Sheila akibat sebuah cincin. Padahal, hari di mana Fariz menanyakan benda kecil berbentuk lingkaran itu, Sheila telah menjelaskan dengan sejujur-jujurnya dengan mengatakan cincin itu bukan miliknya melainkan milik Samudra.
Dikarenakan hari ini hari minggu dan sudah pasti ia akan tinggal dirumah seharian, tidak ada hal lain yang dilakukan oleh Fariz selain menghabiskan waktu bersama Khalid.
Sheila yang sedari tadi mencari keberadaan dua laki-laki dirumahnya itu masuk ke kamar Khalid.
"Khalid, temenin bunda ke luar, yuk?" tanya Sheila tanpa menoleh sedikitpun ke arah seseorang yang sedang duduk bersama anaknya.
"Mau ke mana, Bun?"
"Ke mana aja, asal nggak di rumah." Sheila merapikan bajunya di cermin, sebelum mengajak Khalid, ia memang sudah bersiap untuk pergi.
Khalid menaruh ipadnya di atas nakas, kemudian memakai jaket hitam yang sedang tergantung di belakang pintu kamarnya.
"Udah siap, Bun."
Sheila mengelus kepala anaknya kemudian memberikan tangannya untuk digenggam.
"Pergi sama ayah aja, Lid. Mainan yang kemarin kamu minta belum ayah beliin, kan?" Fariz mencegat tangan Khalid yang hampir menyentuh tangan Sheila.
"Apaan, sih? Yang ngajak duluan aku, ya! Jadi, khalid harus pergi sama aku."
"Tanya Khalid aja lebih milih siapa."
Khalid menggaruk kepalanya sambil menghela napas gusar. "Kenapa gak barengan aja, sih?"
Pertanyaan dari Khalid membuat keduanya diam. Tidak ada dari mereka yang menyahuti ucapan itu sampai Khalid kembali berbicara.
"Kalau gak barengan, aku gak mau pergi!"
Sheila menggeleng. "Jangan gitu, dong. Udah siap gini masa nggak jadi."
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Fariz keluar dari kamar Khalid diikuti oleh dua orang lainnya. Setibanya di ruang tengah, Fariz menyerahkan kunci mobil kepada istrinya.
"Kamu yang bawa," ucapnya lalu mengajak Khalid untuk segera keluar dari rumah.
Sheila menghela napas kemudian mengikuti langkah keduanya dari belakang.
Di perjalanan, suasana mobil hanya diramaikan dengan suara radio. Baik Sheila ataupun Fariz tidak ada yang ingin membuka percakapan. Yang satu gengsi tinggi, yang satu lagi berpegang teguh pada prinsip mau-mau saja diajak berbicara, tapi lawan bicaranya yang harus mulai duluan. Sementara Khalid, ia hanya fokus menatap keadaan di luar melalui jendela mobil.
Sheila berhenti sebentar di bahu jalan, karena tidak tahu mau ke mana. Dari awal mereka memang belum menentukan tempat yang ingin dikunjungi secara jelas.
"Khalid, mau ke mana?"
"Kan waktu di rumah udah dibilang, dia mau nyari mainan yang kemarin belum sempat dibeli. Kenapa nanya lagi?" sahut Fariz.
"Sejak kapan namanya berubah jadi Khalid?" lanjut Sheila yang kembali menegaskan bahwa dirinya sedang bertanya ke Khalid.
"Mau jalan-jalan aja, Bun."
Sheila menyipitkan matanya. Ia melihat komedi putar yang jaraknya kurang lebih 100 meter dari tempat berhentinya.
"Mau ke sana, nggak? Kayaknya, bagus, tuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaras
General FictionShe fell first, but he fell harder. *** (Last Season Rasa & Harapan)