Malam ini, Sheila sedang berada di rumah orang tuanya bersama Khalid, sementara Fariz sibuk mengurus pekerjaannya di kantor. Berhubung Sheila tidak membawa kendaraan sendiri, laki-laki itulah yang nantinya akan menjemput mereka saat semua pekerjaannya telah selesai.
Sheila yang sedang asyik menonton tiba-tiba diserang rasa kantuk. Matanya melirik ke arah jam yang berada di atas televisi. Waktu menunjukkan tepat pukul 10.
"Ngantuk banget."
Khalid yang sedari tadi memainkan ipad menoleh. "Bunda sini." Anak itu menaruh ipadnya di atas meja kemudian menepuk-nepuk pahanya.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun, Sheila membaringkan tubuhnya di sofa lalu menjadikan kedua paha Khalid sebagai bantal kepalanya.
Maryam--Mama Sheila--yang telah menemani mereka berdua dari awal kedatangannya hanya tersenyum lebar melihat pemandangan di dekatnya itu.
Jari jemari milik Khalid tergerak mengelus pelan kepala bundanya. Sebagian rambut yang menutupi wajah perempuan itu disisipkan ke belakang telinganya. Pandangan Khalid terfokus penuh ke wajah sang bunda. "Cantik."
Walaupun sudah menutup mata, Sheila belum tertidur dan masih mendengar suara itu dengan jelas. Kedua sudut bibirnya tertarik mengukir senyum yang sempurna.
"Bunda, butuh selimut?" tanya Khalid, ia tahu kalau perempuan yang sedang dalam posisi tidur itu belum terlelap sama sekali.
Sheila menggeleng pelan seraya bangun untuk duduk kembali.
"Kok bangun? Bunda butuh sesuatu?'
"Mau ngambil minum," jawab Sheila bersiap untuk beranjak ke dapur. Namun, dicegat oleh Khalid.
"Biar aku yang ambilin."
Setelah berkata seperti itu, Khalid dengan sesegera mungkin menghilang dari pandangan Sheila untuk mengambilkan segelas air.
"Kelas berapa, sih, dia?" tanya Maryam.
"Bentar lagi mau 6."
Maryam memangut-mangut. "Baru kelas segitu, sudah pintar sekali dia. Ajaran dari Fariz pasti."
Sheila memberi tatapan tajam untuk mamanya seolah tak terima dengan ucapan wanita itu barusan. Tapi, kalau mau dipikir-pikir lagi ada benarnya, sih. Untuk urusan memuliakan perempuan khususnya seorang ibu, laki-laki itulah yang kerap kali menekankan pada Khalid supaya dia selalu menghormati ibunya.
"Tadinya mau komplen, tapi gak jadi karena omongan Mama udah benar."
"Ternyata ... ada bagusnya juga dulu kalian berdua punya masalah besar. Karena kalau nggak, dia gak akan pernah sadar sama perasaannya dan mungkin gak akan seperti sekarang," ujar Maryam.
Sheila mengangguk setuju. "Ya, that's why banyak orang bilang semua yang terjadi pasti ada hikmahnya."
Obrolan sesama perempuan itu terhenti sejenak saat Khalid kembali bergabung bersama mereka dengan membawa segelas air untuk bundanya. Sepersekian detik kemudian, Fariz juga datang dari kantor, laki-laki itu ikut menimbrungi percakapan random antar ibu dan anak malam ini.
"Oh iya, Khalid, tadi kata Om Afka kamu gak mau ikut les bahasa arab hari ini? Kenapa?"
Ya, di kantor tadi Afka menceritakan kejadian siang hari saat dirinya dimintai tolong oleh Fariz untuk menjemput Khalid di sekolahnya.
"Bukan gak mau, Yah." Khalid menjelaskan sedetail-detailnya mengenai alasan mengapa hari ini dirinya tidak mengikuti les. Saat anak itu masuk ke rumah, ia mendapati bundanya sedang terbaring lemas di sofa depan tv. Alhasil, dia kembali menemui sekretaris ayahnya yang menunggu di luar untuk menyuruhnya pulang dan tidak perlu menunggu dirinya karena hari ini ia tidak akan mengikuti kursus bahasa arab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaras
General FictionShe fell first, but he fell harder. *** (Last Season Rasa & Harapan)