2 : Obrolan Absurd

1.2K 226 77
                                    

happy reading!

***




"Bunnnn." Khalid masuk ke kamar orang tuanya sambil berlari.

Baru saja anak lelaki itu menyentuh tempat tidur. Fariz menegurnya lebih dulu.

"Sstt, lagi tidur bundanya. Kamu mau apa, hm?" ucap Fariz seraya mengecilkan nada bicara agar tidak menganggu Sheila yang baru saja istirahat setelah menghadapi banyak pasien dengan segala macam keluhan pada gigi mereka hari ini.

"Mau minta tolong jahitin baju, Yah."

Fariz membolak-balik baju itu, matanya menangkap robekan yang cukup besar di sana. Kaos merah berlatar cars bisa dibilang adalah baju kesayangan Khalid, karena terdapat gambar kartun favoritnya di sana. Saking sukanya, baju itu hampir tiap minggu dipakai.

"Kita beli yang baru aja gimana?" tawar Fariz. Ia memang dapat melakukan semua pekerjaan rumah bahkan kerap membantu Sheila mengurus Khalid dan segala keperluannya. Tapi, ada satu hal yang tidak dapat ditekuni dengan baik oleh seorang Muhammad Alfarizi yaitu ilmu jahit-menjahit.

Khalid menggeleng. "Nggak mauuu."

"Belinya sekarang, dipesan lewat hp."

"Iiihhh, nggak mau, Ayah. Nggak mauuuuuu!"

Rengekan terakhir dari anak itu membuat perempuan yang sedang berada di alam mimpi terbangun dari tidurnya.

Sheila mengangkat kepalanya lalu menatap ke arah dua orang laki-laki yang terlihat sedang adu argumen.

"Kenapa, sih?" tanya perempuan itu sembari mengucek-ngucek matanya.

Khalid mengambil baju yang sedang berada dalam genggaman sang ayah lalu berlari menuju tempat tidur dan memperlihatkan sobekan yang terdapat pada baju itu.

"Tolong jahit, Bun. Sekarang, yaa, pleaseee."

Sheila terdiam sejenak seraya mengumpul nyawa. "Besok aja bisa?" tawarnya yang pada akhirnya mager.

"Aku maunya sekarang."

"Khalid." Satu kata yang terlontar dari mulut Fariz mampu membuat dua pasang mata tertuju padanya. "Kita ngomong di luar sekarang," lanjutnya.

Khalid yang sedari tadi bersikeras dengan kemauannya mendadak melupakan permasalahan baju itu. Padahal, nada bicara ayahnya terbilang pelan, tapi ia merasa bahwa sekarang dirinya sedang berada dalam posisi bahaya. Dimarahi atau yang lain, ia hanya bisa pasrah sambil melangkahkan kaki ke luar menemui ayahnya yang lebih dulu pergi meninggalkan kamar.

Beberapa menit kemudian, Khalid kembali masuk ke kamar lalu memeluk bundanya yang sedang berusaha tertidur kembali. Entah apa yang terjadi pada mereka berdua hingga Khalid melakukan itu.

Sheila menghela napas panjang. "Kenapa lagi?"

"Afwan, Bunda. Harusnya aku nggak ganggu waktu istirahat Bunda."

Perempuan yang sedang terbaring itu mengelus pipi putranya. "Gak apa-apa."

"Bunda pasti capek, ya? Mau Khalid pijitin?"

"Nggak usah, mendingan kamu juga istirahat. Besok sekolah, kan? Tidur, gih."

Khalid mengangguk. Usai menggumamkan ucapan selamat malam pada sang bunda, ia melangkahkan kaki menuju kamarnya. Sejak usia 5 tahun, ia memang sudah tidur sendiri dan tentu atas permintaanya sendiri pula. Biar mandiri, katanya.

***

Sheila menatap pantulan dirinya di cermin. Sebentar lagi ia akan menuju tempat praktiknya.

"Mau bareng, nggak?" tanya Fariz yang baru saja menyelesaikan pekerjaan di pagi hari yaitu mengantar Khalid ke sekolah.

SelarasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang