"Shei, kalau aku minta kamu buat pindah tempat praktik mau, nggak?"
Sheila yang sedang membaca novel sontak menutup lembaran-lembaran tersebut. "Hah? Kenapa nyuruh pindah?"
"Kan misal."
"Ya ... tergantung alasannya apa."
Fariz mengangguk paham. Tidak lagi melanjutkan pembicaraannya. Akhir-akhir ini, ia tidak mengerti sama pemikirannya sendiri yang terkadang meragukan perasaan Sheila.
Di saat suasana kamar sedang hening, ponsel Sheila berdering.
Perempuan yang baru saja melanjutkan bacaannya meminta Fariz untuk mengambil benda pipih yang jaraknya lebih dekat dari laki-laki itu.
Dokter Samudra. Fariz membaca nama seseorang yang sedang tertera di layar ponsel. Detik itu juga, rasanya Fariz ingin sekali me-reject panggilan tersebut, tapi kalau sampai hal itu benar-benar dilakukan olehnya yang ada Sheila bisa mengira dirinya sedang cemburu.
Bukan, ini bukan cemburu, lebih tepatnya tidak suka, catat!
Sheila mengambil ponselnya yang masih berdering di tangan Fariz kemudian menerima panggilan itu. Tidak sampai tiga menit, obrolan mereka sudah selesai.
"Dia ngomong apa?" tanya Fariz yang tidak dapat mendengar apa yang dibicarakan oleh Samudra karena tidak mengaktifkan fitur loud-speaker.
"Tumben nanya, cemburu apa gimana nih?"
"Cemburu?" Fariz tertawa kecil. "Ya kali cemburu," kilahnya.
Seorang Alfarizi yang notabenenya memiliki gengsi tinggi memang tidak akan pernah mau mengakui rasa cemburunya dari dulu dan Sheila sendiri tentu tahu akan hal itu meski tidak diberitahu langsung oleh laki-laki tersebut.
"Dia ngajak lunch besok," ucap Sheila.
Percakapan di telepon tadi, Samudra mengajak dirinya makan siang sebagai rasa terima kasih karena telah menemaninya membeli cincin untuk sang kekasih. Sebelum mengabari Sheila, ia telah lebih dulu menghubungi Suci. Makan siang besok juga sekaligus merayakan lamarannya yang berhasil kemarin tepat di hari ulang tahun Pradhita Arumdani.
Sengaja Sheila tidak memberi tahu Fariz tentang perbincangan mereka yang tadi secara jelas. Tidak lebih hanya sekadar mengerjai Fariz.
"Terus? Kamu mau gitu?" tanya Fariz.
"Iya."
Fariz menggeleng-gelengkan kepalanya. "Istighfar kamu, Shei."
"Astaghfirullah." Sheila mengikuti perintah Fariz.
"Alfariziiiiiiii." Kak Thifa muncul secara tiba-tiba bersama Jian. Pintu kamar yang memang dalam kondisi terbuka, membuat keduanya langsung memasuki kamar itu tanpa ketukan pintu.
"Nitip Jian di sini, ya. Jian aja, adiknya lagi dipinjam sama mertua. Aku mau nemenin Alvin reuni soalnya "
"Oke, Kak." Sheila mengiyakan.
Fariz mengerutkan keningnya. "Yang reuni sekolah Kak Alvin, kenapa Kak Thifa ikut juga?"
"Laki-laki jaman sekarang harus dipantau, Riz. Apalagi acaranya reuni, bahaya kalau ada clbk-clbk gitu." Thifa menjelaskan dengan nada bercanda.
"Sekarang gak cuma laki-laki tau yang harus dipantau, perempuan juga harus," sindir Fariz.
Bukannya tersinggung, Sheila malah biasa-biasa saja. Entah mengapa, berhasil membuat Fariz cemburu menghadirkan rasa kesenangan tersendiri di hatinya.
"Emang, sih, Riz. Tapi, laki-laki lebih harus. Udah, deh, aku pergi dulu, ya. Alvin nungguin di bawah."
Fariz mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaras
Ficção GeralShe fell first, but he fell harder. *** (Last Season Rasa & Harapan)