10. Mulai Nyaman

230 20 0
                                    

.

° ° °

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

° ° °

Suasana malam begitu sunyi, hanya terdengar suara gemerisik daun yang ditiup angin dan suara kecil televisi di ruang tengah. Sesekali terdengar suara burung malam dari kejauhan.

Elina terbangun dari tidurnya. Dengan langkah pelan ia membuka pintu kamar yang sedikit berderit. Cahaya redup dari televisi yang masih menyala di ruang tengah memandikan ruangan dengan sinar lembut yang berkedip-kedip.

Dia mengintip ke arah pria yang tampak tertidur di depan televisi. Nafasnya teratur namun alisnya sedikit mengerut seolah sedang berada dalam mimpi yang berat.

Pria yang sejak awal dingin dan misterius itu terlihat rapuh di bawah sinar televisi. Selimut yang tadinya di pangkuannya terjatuh ke lantai, membiarkan udara malam yang dingin menyelinap ke dalam tubuhnya.

Elina mendekat perlahan, berusaha tak mengganggu tidur Eiser. Pandangannya tak lepas dari pria yang tertidur itu.

Meski dalam lelapnya, ketampanan Eiser tetap tersorot. Wajahnya seperti dilukis oleh tangan-tangan tak kasat mata yang mengukir setiap detail dengan sempurna. Rahangnya tegas. Bibirnya yang kini sedikit terbuka seolah menghela mimpi tetap terlihat rapi dengan lekuk yang menggoda.

Rambutnya yang acak karena tertidur justru menambah daya tarik, menciptakan bayang-bayang halus di sepanjang dahinya.

Di bawah kelopak mata yang terpejam, Elina tahu terdapat sepasang mata dingin yang mampu membekukan dunia sekitarnya, tetapi saat ini ia hanya melihat ketenangan yang lembut saat pria itu terlelap.

Dinginnya pria itu seakan mencair dalam tidur. Cahaya televisi yang redup memantul di kulitnya, memberikan sentuhan hangat pada wajah yang biasanya terlihat begitu jauh kini seolah bisa dijangkau.

"Dia seperti pria yang keluar dari dunia fiksi," gumam Elina dengan tatapan masih fokus pada pria yang terlelap itu. "Kenapa dia tampan sekali?"

Elina menghela napas pelan. Ia lalu mengambil selimut yang terjatuh dengan lembut dan berencana menyelimuti Eiser kembali. Namun saat tangannya hendak meletakkan kain hangat itu di atas tubuh Eiser, tiba-tiba pria itu bergerak.

Dalam sekejap, tangannya mencengkeram lengan Elina dengan kuat. Tatapan matanya tiba-tiba liar penuh dengan kilat kewaspadaan, seolah ia tengah berada di ambang pertarungan.

Elina tersentak, menahan napas. Cengkeraman itu semakin kuat, hingga rasa sakit perlahan merayap di pergelangan tangannya.

"Hei..." bisiknya lirih, takut membangunkan Eiser sepenuhnya.

Pria itu sejenak terdiam, sebelum akhirnya matanya terbuka. Pandangan tajamnya langsung bertemu dengan wajah Elina. Dalam hitungan detik, sorot matanya berubah.

Kekacauan di matanya memudar, berganti dengan kesadaran yang datang perlahan. Ia segera melepaskan cengkeramannya. Wajahnya kembali datar seperti biasanya, tetapi tak bisa menyembunyikan rasa bersalah yang berkelebat.

EISERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang