25. Obat

118 7 0
                                    

.

° ° °

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

° ° °

Elina menatap Eiser dengan raut wajah yang penuh kepedulian. Dia melangkah mendekat lagi, meski pria itu masih menunjukkan ketidaknyamanan.

"Eiser," ucap Elina lembut, tangannya terulur pelan, mencoba meraih lengan pria itu. "Izinkan aku mengobati luka-lukamu. Biarkan aku membantumu kali ini."

Eiser memalingkan wajahnya, mengeraskan tubuhnya seperti batu. "Aku baik-baik saja. Luka ini tak seberapa," jawabnya dengan suara dingin. Sikap keras itu seolah membuat jarak semakin lebar, tetapi Elina tak menyerah.

"Kau bilang baik-baik saja, tapi tubuhmu jelas tidak. Kau tahu aku takkan tinggal diam melihatmu terluka," balas Elina dengan nada yang lebih tegas, namun tetap ada kelembutan yang terselip di dalamnya. "Tolong, biarkan aku melakukan ini."

Eiser mengatupkan rahangnya. Hatinya berkecamuk, perasaannya begitu campur aduk. Ia terbiasa mengatasi segalanya sendirian, tak pernah ingin menunjukkan kelemahan kepada siapa pun, termasuk kepada Elina.

Namun, di saat yang sama, ada sesuatu dalam dirinya yang perlahan luluh di hadapan wanita ini. Matanya kembali menatapnya, dan sejenak ia terdiam, merasakan betapa kuatnya ketulusan dalam sorot mata Elina.

Elina menunggu. Tak ada tekanan, hanya penawaran yang lembut namun tegas.

Eiser mendesah, lalu mengangguk perlahan, meski ia tahu ia tak bisa menolak lagi.

"Baiklah," jawabnya singkat, menyerah dengan paksa.

Elina tersenyum tipis, tidak menyoraki kemenangannya. Dengan hati-hati, dia mengambil kotak P3K yang sudah disiapkan Bilal di salah satu sudut ruangan, lalu mendekat kembali pada Eiser.

Perlahan, dia mulai membersihkan luka-luka goresan di wajah dan tangannya dengan kapas dan cairan antiseptik. Setiap sentuhan jari Elina terasa lembut, berbeda dengan sikap keras Eiser yang berusaha menahan rasa sakitnya.

"Ini tidak akan lama," kata Elina, suaranya nyaris seperti bisikan, sementara tangannya tetap bekerja membersihkan luka di pelipis Eiser.

Eiser tidak merespons, hanya diam mematung. Sekali lagi, ia mengalihkan tatapannya, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

Detik demi detik berlalu dalam keheningan. Sentuhan lembut Elina terasa begitu asing bagi dirinya yang terbiasa hidup dalam kekerasan dan pertempuran. Namun, di tengah rasa sakit itu, ada kehangatan yang merayap pelan di hatinya.

Elina menoleh ke wajah Eiser, melihat bagaimana dia menahan semua perasaan itu. "Eiser, kau baik-baik saja?"

"Mm," jawab Eiser singkat, tanpa menoleh.

"Kau bisa berbicara padaku. Jangan pendam semuanya sendiri, itu hanya akan membuatmu semakin sakit."

Seketika, Eiser merasakan sesuatu yang tidak biasa. Tatapan matanya yang semula penuh pertahanan perlahan mencair, meski hanya sedikit.

EISERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang