50. Kesempatan

180 12 0
                                    

.

° ° °

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

° ° °

Udara malam terasa berat, seolah setiap tarikan napas menjadi beban yang menyesakkan dada. Asap dan debu dari reruntuhan gedung masih mengepul, menyelimuti suasana dengan kabut kelabu yang pekat.

Di tengah kegelapan itu, Elina masih berlutut di tanah, tubuhnya gemetar, sementara isak tangisnya terdengar begitu lemah. Matanya masih terpaku ke arah gedung yang kini hancur berkeping-keping.

"Eiser..." desahnya, suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam lautan kesedihan yang mencekik. Tangannya mencengkeram tanah dengan erat, seolah berharap bisa menarik kembali waktu, memohon keajaiban yang tak pernah datang. "Kenapa dia harus tinggal... kenapa dia tidak pergi bersama kita..."

Bilal yang juga berlutut tak jauh di belakangnya, menatap reruntuhan gedung dengan sorot mata yang penuh penyesalan. Dia mengepalkan tangannya, merasa gagal melindungi seseorang yang selama ini menjadi sosok panutannya. "Kapten...," gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam hembusan angin malam. Ia tak mampu lagi berkata, seolah kata-kata telah habis untuk menggambarkan rasa kehilangan yang ia rasakan.

Aliya berdiri di sisi Adam, tubuhnya gemetar. Matanya memerah, dipenuhi air mata yang ditahan. Dia mencoba untuk tetap tegar, namun setiap detik yang berlalu hanya menambah beban di pundaknya. "Eiser.... Dia mengorbankan nyawanya demi kita..." ucapnya dengan suara yang bergetar, mencoba menghibur dirinya sendiri.

Adam yang biasanya selalu tegar, kini terdiam. Rahangnya mengeras, tetapi sorot matanya tidak bisa menyembunyikan kepedihan yang mendalam. Dia merasakan perih di dalam dadanya, perasaan bersalah dan penyesalan yang tak tertahankan. Baginya, kehilangan Eiser bukan hanya kehilangan seorang pemimpin, tetapi seorang teman yang selalu siap melindungi mereka semua.

Di tengah keputusasaan itu, suara sirene mulai terdengar dari kejauhan. Tim penyelamat datang, membawa harapan samar-samar, tetapi bagi Elina dan yang lain, harapan itu terasa hampa. Apa gunanya penyelamatan jika Eiser sudah tiada?

Suara langkah-langkah tim penyelamat semakin mendekat, tetapi tidak ada yang bergerak untuk menyambut mereka.

Elina masih terpaku, air matanya mengalir tanpa henti, tangannya mencengkeram bajunya yang sudah basah oleh debu dan keringat.

Keheningan mencekam di antara mereka, seolah waktu berhenti saat mereka menanti sesuatu yang sudah tak mungkin datang.

Namun di tengah kabut debu yang tebal, tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak. Sebuah bayangan muncul dari balik reruntuhan.

Perlahan-lahan, sosok itu semakin jelas di bawah sorotan lampu-lampu penyelamat yang mulai mendekat.

Mata Adam membelalak, sementara Aliya menahan napas, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Tunggu..." bisik Aliya, suaranya tercekat.

"Eiser!" Suara Adam tercekat saat melihat bayangan yang mendekat. Mata mereka semua melebar saat mengenali sosok itu, yang meski terluka, tak pernah menyerah.

EISERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang