EPILOG

299 15 5
                                    

.

° ° °

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

° ° °

Makam para prajurit terletak di ujung kota. Deretan batu nisan berdiri kokoh, dipahat dengan nama-nama pahlawan yang telah gugur, masing-masing membawa cerita tentang keberanian dan pengorbanan.

Di sekeliling, hamparan rumput hijau yang lembut berbaur dengan bebungaan liar yang tumbuh secara alami, memberi keindahan yang kontras dengan keheningan yang mendalam.

Di kejauhan, suara burung elang terdengar, terbang melintas, seperti menjaga tanah yang menjadi tempat peristirahatan terakhir para prajurit.

Hembusan angin sejuk menggerakkan dedaunan pohon tua, seolah menyanyikan lagu sedih bagi mereka yang telah tiada.

Di bawah langit kelabu yang memayungi pemakaman, Eiser melangkah perlahan di atas rerumputan yang basah oleh embun pagi.

Dia menghentikan langkahnya di depan batu nisan tua berwarna pudar, nama sang ayah yang tertulis di batu itu tampak jelas meski waktu telah mengikisnya.

Ayahnya adalah seorang komandan pasukan yang gagah, telah tiada selama lima tahun berlalu. Namun kehadirannya masih terasa begitu nyata dalam ingatan Eiser.

Langit mendung menaungi makam-makam itu, menciptakan suasana yang penuh duka dan penghormatan. Setiap tiupan angin membawa bisikan halus, seakan suara-suara masa lalu yang tak pernah benar-benar menghilang.

Eiser menghela napas panjang, matanya yang biasanya tajam kini tampak lembut dan muram. Ia berlutut di hadapan makam ayahnya, membiarkan keheningan bicara lebih dari kata-kata.

"Kebenaran sudah terungkap, Ayah," bisiknya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh angin.

Di sampingnya, Bilal berdiri diam, menghormati momen ini. Tak ada percakapan di antara mereka, hanya kebersamaan yang hening namun penuh arti.

Setelah beberapa saat, Eiser bangkit, menatap makam ayahnya untuk terakhir kali hari itu, lalu mengarahkan langkah menuju makam yang tak jauh dari situ. Makam Letnan Riftan.

Bilal menunduk ketika mereka tiba di sana, seolah turut berbagi duka yang sama.

"Maafkan aku Letnan Riftan, selama ini aku sudah salah paham padamu. Aku harap kau tenang di sana," ujar Eiser dengan suara serak. Di wajahnya, tergambar jejak kenangan pahit dari perbuatannya yang telah merenggut nyawa temannya. Eiser merasakan penyesalan yang dalam, merasa dirinya tidak bisa menembus kesalahannya.

Angin yang membawa aroma tanah basah terus berhembus pelan, seolah memberikan ketenangan bagi mereka yang merindukan orang-orang yang telah pergi.

Bilal menepuk bahu Eiser dengan lembut, memberi dukungan tanpa kata-kata. Mereka berdiri di sana cukup lama, berbagi sepi dan kenangan sebelum akhirnya mereka pergi dari tempat itu.

**

Beberapa jam kemudian, mentari telah condong ke arah barat. Sore itu, langit di atas jembatan pinggir pantai dilukis dengan warna jingga yang lembut.

EISERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang