32. Genggaman Musuh

74 4 0
                                    

.

° ° °

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

° ° °

Eiser berdiri di balkon kantor, menatap langit yang mulai gelap. Pikirannya masih memutar percakapan singkat dengan Elina sebelum ia pergi tadi.

Sesuatu terasa janggal, meskipun Elina mengatakan ingin sendiri, ada perasaan yang mengusik Eiser, seolah ada hal yang disembunyikan oleh Elina.

Sejak bertemu dengan Elina, Eiser sudah belajar membaca setiap gerakan dan nada bicara wanita itu. Dan kali ini, Elina tampak cemas, sebuah isyarat halus yang tak bisa Eiser abaikan.

Sesekali ia memeriksa ponselnya, namun tidak ada panggilan ataupun pesan dari Elina. Merasa semakin tidak tenang, ia memutuskan untuk menghubunginya terlebih dahulu.

Panggilan pertama tak diangkat. Panggilan kedua juga tak berjawab. Eiser mengerutkan kening, rasa khawatir mulai berkerut. Elina jarang mengabaikan panggilannya, bahkan tidak pernah, terutama jika dia sedang keluar sendiri.

"Ini aneh," gumam Eiser, tangannya beralih ke mode membaca ponsel Elina yang telah ia pasang sebagai tindakan pengamanan.

Tak butuh waktu lama baginya untuk melihat lokasi terakhir Elina berada. Di pinggir kota, jauh dari lokasi pertemuan bisnis atau tempat yang biasa ia kunjungi.

Tanpa berpikir dua kali, Eiser memutar menuju mobilnya. Dia tahu ada sesuatu yang salah. Elina mungkin terlibat dalam situasi yang tak ia sadari, atau lebih buruk lagi, terjebak dalam rencana busuk musuh.

Detik demi detik berlalu, namun rasa tegang di dalam dirinya semakin kuat.

Setibanya di lokasi yang dibawakan oleh pelacak, sebuah gudang tua yang suram menyambutnya. Cahaya lampu yang redup berpendar dari jendela-jendela kecil yang kusam, menambah kesan bahwa tempat ini tidak biasa digunakan untuk hal yang baik.

Eiser menghentikan mobilnya pada jarak aman dan mematikan mesin. Perlahan, ia keluar, menajamkan pendengarannya.

Tak ada suara dari dalam, hanya alunan hujan ringan yang mulai turun, menciptakan suasana yang semakin mencekam.

Dengan langkah hati-hati, Eiser mendekati bangunan itu. Di tanah yang basah, ia melihat jejak ban mobil yang masih segar, pertanda ada kendaraan yang baru saja meninggalkan tempat ini.

Perasaan cemas semakin mendalam. Di sudut dekat pintu masuk, ia menemukan ponsel Elina tergeletak di tanah, layarnya retak seolah terjatuh dengan keras. Dadanya bergemuruh. Elina jelas berada di sini, tapi di mana dia sekarang?

Saat Eiser hendak melangkah lebih jauh, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Tiga pria bertubuh kekar muncul dari balik bayang-bayang, wajah mereka tanpa ekspresi, namun jelas bermusuhan. Salah satu dari mereka mengeluarkan pisau, sementara yang lain mulai mendekat dengan sikap mengancam.

"Kau tidak seharusnya berada di sini," kata salah satu pria itu dengan nada dingin, memecah keheningan.

Eiser hanya menatap mereka dengan mata tajam, tangannya dengan cepat meraih senjata yang terselip di pinggangnya. Ia tidak punya waktu untuk basa-basi.

EISERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang