.
° ° °
Di bawah langit malam yang berhiaskan bintang-bintang samar, suara langkah kaki terdengar pelan di antara gemuruh kota yang berangsur-angsur sunyi.
Elina berjalan tanpa arah, terhuyung di antara jalan-jalan yang basah oleh bekas hujan.
Kerlap-kerlip lampu jalan menyinari wajahnya yang pucat, rambutnya tergerai terkena angin dingin. Matanya kosong, tertuju pada kaki yang terus bergerak meskipun hatinya telah lama tersesat dalam ketakutan dan kesedihan.
Dia seolah menjadi pengembara di malam yang tak berpihak. Pikirannya melayang pada ancaman dingin ibu tirinya, wanita yang seharusnya mengisi tempat kosong yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, namun malah menebarkan kegelapan baru dalam hidupnya.
Hari itu dengan hati yang penuh luka, Elina melangkah jauh dari rumah yang pernah dianggapnya sebagai tempat perlindungan, tanpa membawa apapun kecuali rasa lapar yang menyakitkan.
Langkahnya terhenti di depan sebuah kafe kecil. Jendela besar di hadapannya memperlihatkan kilatan cahaya hangat dari dalam, kontras dengan kedinginan malam.
Di balik kaca, dia melihat orang-orang yang duduk sambil tertawa, piring-piring penuh makanan lezat terhampar di meja.
Suara garpu yang beradu dengan piring mengingatkannya pada kenyataan bahwa dia belum makan seharian. Perutnya melilit namun rasa laparnya tertahan oleh kesedihan yang lebih dalam.
Elina mendekat, menempelkan dahinya yang dingin pada kaca kafe, matanya menatap nanar pada roti hangat yang tersaji di rak.
Hatinya seakan tersayat bukan hanya oleh kelaparan, tetapi oleh kenyataan bahwa dunia terus berputar meski hidupnya terasa hancur.
Sejenak dia bertanya-tanya, apakah ada orang di dalam sana yang pernah merasakan hampa seperti dirinya?
Dalam kesunyian, ia berbisik pada dirinya sendiri, "Apa gunanya semua ini? Warisan, uang, rumah besar... Ketika semuanya telah dirampas, semua ini tak berarti apa-apa."
Sebuah suara lembut dari dalam kafe tiba-tiba terdengar, memecah lamunannya.
"Anda ingin masuk? Kami punya tempat hangat dan makanan yang bisa menghangatkan malam Anda," kata seorang pelayan yang melihatnya dari dalam pintu.
Elina tersentak, suaranya tercekik di tenggorokan. Selama beberapa detik, dia hanya menatap pelayan itu, matanya berkaca-kaca. Namun sesuatu dalam dirinya menahan langkahnya untuk masuk. Mungkin itu rasa malu atau mungkin itu rasa putus asa. Dia menunduk, menutup mulutnya sejenak untuk menahan isak tangis yang hampir keluar.
"Aku... tidak bisa," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar, sebelum melangkah mundur. Sesuatu yang berat menekan dadanya, semakin mengaburkan pandangannya yang telah lama penuh dengan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
EISER
ActionEiser adalah seorang tentara dari pasukan khusus. Namun karena insiden yang menimpanya, ia meninggalkan pekerjaannya dan memilih menjalani kehidupan yang biasa-biasa. Suatu hari Eiser bertemu dengan Elina, sang pewaris yang berusaha kabur dari orang...