12. Mendiamkan Elina

183 19 0
                                    

.

° ° °

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

° ° °

Malam terasa lebih dingin daripada biasanya. Hujan rintik-rintik jatuh dari langit gelap, menciptakan suasana yang samar.

Bagi Elina dentingan rintik hujan seolah ikut bersekutu dalam keheningan yang menyelimuti rumah tempatnya bernaung. Di ruang tengah yang remang-remang, suasana begitu hening tapi berat.

Eiser yang sejak tadi hanya duduk di sudut ruangan, tak sekali pun menatap ke arah Elina. Matanya tajam menatap buku di pangkuannya, namun pikirannya jelas jauh dari sana.

Dia memilih mendiamkan Elina sejak wanita itu mengatakan kepada Ali bahwa ia adalah istri Eiser. Bukan sebuah kebohongan yang disengaja, tetapi ketakutan yang membuat mulutnya terpaksa berbohong. Ia tidak mau ada fitnah antar dia dan Eiser jika mereka tinggal satu atap tanpa hubungan apa-apa.

Dia tahu Eiser marah. Bukan dengan teriakan atau kemarahan yang meledak-ledak, tetapi dengan diam. Diam yang menusuk, membuat setiap napas terasa berat dan penuh penyesalan.

"Kau marah?" bisik Elina dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Eiser masih tak bereaksi. Hanya sorot matanya yang tetap dingin, tertuju ke arah buku, seolah enggan memberikan perhatian sekecil apa pun. Diamnya begitu pekat, lebih keras dari kata-kata yang mungkin bisa menyakiti.

"Eiser..." Elina memberanikan diri untuk mendekat, namun langkahnya terhenti ketika pria itu berdiri.

Tanpa menoleh, Eiser mengambil langkah, tidak ada tanda-tanda ingin mendengarkan penjelasan dari Elina. Namun gadis itu segera meraih tangannya.

Sejenak tatapan Eiser jatuh pada tangan Elina yang memegangnya sebelum tatapan datar ia alihkan padanya.

Menyadari ketidak nyamanan Eiser, Elina segera melepaskan tangannya. "Maaf," ucapnya lirih. "Aku tahu aku salah. Tidak seharusnya aku mengatakan itu pada Ali."

Eiser masih diam.

"Aku tidak menyangka akan menimbulkan kekacauan ini," lanjut Elina.

"Benar, ini kekacauan," gumam Eiser. "Bagaimana caranya kau menghentikan semua ini? Apa kita akan mengatakan kepada semua orang bahwa semua ini adalah bohong?" suara Eiser pelan, namun jelas ia marah.

"Maaf," ucap Elina lirih dengan wajah menunduk.

"Karena kebohongan ini, kita seperti mempermainkan semua orang. Tidak, lebih tepatnya kita mempermainkan diri sendiri."

EISERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang