Eps 20 : Who Could Ever Leave Me?

239 39 0
                                    

Dipublikasikan pada 24 Agustus 2022
Tidak direvisi

"Meskipun aku coba menahannya tiap hari, meskipun aku coba bertahan di sana tapi itu tak berjalan baik"
-Run Away, Tomorrow X Together

...

BERANGKAT ke sekolah pukul 06.30 untuk mencari ilmu, dan yang paling nomor satu demi uang saku. Pemotor yang mayoritas siswa-siswi SMA Angkasa tengah melaju ke arah tempat parkir, suara tawa dan sapaan di pagi hari, ditemani hangatnya sang mentari yang tampak berbahagia hari ini.

Seorang gadis dengan sweter kuning pucat diam tak bergerak di sisi tempat parkir. Bimala memandang baik-baik air muka murid-murid yang tampak ceria, ada tanda tanya yang muncul pada otak 6G-nya dan langsung disadarkan oleh Yola yang baru saja memarkirkan motornya.

"Morning anaknya Pak David! Gue lihat dari jauh, gaya lo kayak bapak-bapak INTJ. Mikirin apaan lo?" tanya Yola seraya memeluk si sweter kuning telur itu dari belakang.

Bimala mengetuk dahinya berulang kali. "Lagi hitung jarak motor, dari gerbang ke tempat parkir yang masih kosong."

Yola tertawa nyaring dan keras seraya memukul lengan Bimala. "Aelah, itu mah gabutnya anak IPA. Mending lo lihat lapisan tanah di belakang sekolah aja, itu baru gabutnya anak IPS," sarannya.

Bimala baru menyadari satu hal ketika Yola memberikan saran untuk melihat lapisan tanah di belakang gedung sekolah. "Iya juga ya, entar-"

"Tapi ...." Yola langsung memotong pembicaraannya, "Lo nggak perlu segabut itu sampai gali tanah, nanti malah kebablasan terjun ke inti bumi."

"Mending kita ke mbak Sarah, mumpung belum bel."

"Ayam geprek emang udah ready jam segini?"

"Udah dong! Gue tadi japri mbak Sarah setelah parkirin motor."

『✎﹏ 』

Sepasang mata saling memandang satu sama lain, senyum miring dan tangan yang sudah tak sabar ingin merebut spidol yang ada di atas meja. Sisanya sebagai penonton dan Jessica sebagai pemandu acara cerdas cermat dadakan pagi hari ini.

"Oke pertanyaan ke empat, ini mapel Sejarah ya." Jessica langsung menunduk untuk membaca pertanyaan selanjutnya di buku tulis.

"Siapa yang menyetujui adanya sistem tanam paksa di Indonesia?"

Mila berhasil mengambil spidol yang ada di atas meja, dengan perasaan yakin ia langsung menjawab pertanyaan dari Jessica. "Herman Willem Daendels!"

Jessica menjentikkan jarinya. "Benar! Lima poin buat Mila!"

Hira mengerutkan alis seraya berkacak pinggang. Dia tak terima jika tokoh yang menyetujui adanya sistem tanam paksa di Indonesia adalah Herman Willem Daendels, padahal dia punya jawaban sendiri. "Lho, bukannya Van den Bosch?"

"Mangga para hadirin ngawaler patarosan Hira." Jessica minta secara lebih hormat supaya para penonton memberikan dasar bukti mengapa jawaban Mila dinilai benar.

Mila menyipitkan mata, berusaha mengingat apa yang diucapkan anggota paskibraka itu barusan. "Dia ngomong apaan, sih?" tanyanya pada Yasha.

✔️ Pelosopi '04 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang