EPS 32 : I Turned Seventeen

181 31 0
                                    

Direvisi pada 24 Februari 2023

"Well you don't know f*ck about my family. Could never tell you what happened, the day I turned seventeen"
-Seventeen, Marina

. . .

“KAMU itu ya selalu aja ngatur-ngatur!! Saya udah capek-capek kerja malah diperlakukan begini!!”

“Kamu selalu nggak ada waktu buat kelurga!!”

Hira memakan sarapannya dengan ekspresi datar. Mendengarkan musik menggunakan earphone, tak menghiraukan drama pagi hari yang sama sekali tak sama indahnya dengan sinetron yang biasa Jessica tonton, apalagi drakor yang Yaksha dan Lakshmi tonton.

Dahulu saat kakaknya masih hidup, kakaknya yang akan menutup kedua telinganya. Kakaknya selalu berusaha keras melakukan sesuatu, agar kata-kata buruk itu tidak menimbulkan ingatan buruk, yang akan berakhir memunculkan sebuah trauma. Kini earphone-lah pengganti sang kakak untuk menutupi kedua telinga, agar tak terlalu ambil pusing dengan percekcokan kedua orang tua.

Mendengarkan musik dengan volume tinggi dalam jangka panjang memang tidak baik untuk pendengaran, Hira tahu itu. Tetapi dia sengaja melakukannya agar tidak mendengar suara-suara memuakkan itu.

“Tiap hari adu mulut mulu nggak capek ya?” monolognya lalu mengambil tas di atas meja dan beranjak dari dapur.

Suara sepatu pantofel berhasil memecahkan suasana, kakinya bergerak mengarah ke ruangan di depan kamarnya. Menghampiri kedua orang tuanya yang masih saja beradu mulut di dalam kamar. Berdiri menyender pintu sembari melipat kedua tangan.

“Kalau mau cerai, cerai aja. Cerai aja sama Ayah, aku baik-baik aja kok. Jangan mempertahankannya gara-gara aku,” pesan Hira tiba-tiba membuat suasana menjadi sunyi saat itu juga.

Suara pekikan dan makian tidak ada lagi, pelaku yang menimbulkan seisi rumah menjadi ingar bingar di pagi hari itu terus menatap Hira tak percaya, sedangkan Hira hanya memandang datar mereka berdua.

“Kenapa kalian masih bertahan sampai sekarang? Kalo Mama diselingkuhi Ayah, harusnya Mama  ceraikan Ayah aja! Balas dendam sama Ayah kalo perlu, seenggaknya jatuhkan Ayah atau lakukan sesuatu!” Hira segera menyeka air matanya, “Kenapa Mama malah menghancurkan hidup Mama sendiri?”

Mama melangkahkan kaki mendekati si bungsu, Hira memilih untuk mundur seolah-olah dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. “Ayah dihukum karena melakukan kesalahan, tapi kenapa aku juga kena imbasnya? Yang ngelakuin kesalahan siapa, yang kena karma siapa.”

Ayah menggeleng dan ikut mendekati si bungsu yang nyaris ingin menangis. “I—itu nggak benar, Hira.”

Nafas gadis itu memburu, tangannya terkepal kuat, ingin rasanya merusakkan seluruh barang di rumah ini. “Aku udah nggak tahan. Aku cuma butuh rumah yang aman seperti milik teman-temanku, apa aku nggak berhak dapatkan hal itu?”

Nafasnya tersengal-sengal bersamaan dengan air mata yang sebentar lagi akan jatuh. “Meskipun aku bakal lebih tersiksa lagi, aku bakal tinggal sama Ayah. Aku takut kalo ... aku bakal berubah jadi kayak Mama juga kalo aku terus tinggal sama Mama.”

“Itu sebabnya Mama nyuruh kamu fokus belajar Ekonomi. Biar kamu nggak berubah kayak Mama—“

“Berhenti ngucapin alasan itu lagi!” potong Hira menaikkan suara, “Kenapa aku harus jadi robot untuk menebus kegagalan Mama dan kakak?”

“Jangan pedulikan aku, kalo mau cerai ya cerai aja. Ayah kayak gini karena muak sama Mama. Mama tau nggak, sih?” ketus Hira lalu berbalik badan.

Baru saja berbalik badan, seseorang menahan lengannya. Saat menoleh ke belakang, betapa terkejutnya Hira usai mendapat tamparan dari Mama. Hati terasa sakit bersamaan dengan air mata yang jatuh membasahi pipi.

✔️ Pelosopi '04 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang