19

351 52 8
                                        

Malam itu, setelah kelulusannya yang begitu membahagiakan, Snow ditemani Isaiah di dalam kamarnya di panti dan menangis sejadi-jadinya. Snow tidak memberitahu isi suratnya tetapi Isaiah menduga bahwa anak laki-laki bernama Jaenuary telah mencampakkan sahabatnya.

"Snow, tidak apa-apa. Akan ada banyak anak laki-laki lain yang akan mencintaimu."

Isak tangis Snow semakin terdengar dan gadis itu menggeleng. "Aku mencintainya, Isaiah, dia tidak mau bertemu denganku lagi, dia akan pergi..."

"Oh, Snow yang malang..."

***

Semester baru telah dimulai di Universitas Pandawa. Mark memulai harinya dengan membuka kafe dibantu oleh Isaiah—mereka masih memiliki waktu libur karena sekolah keperawatan belum dimulai—dan Snow. Mark menitipkan kafe pada mereka dan ia langsung pergi ke kampus.

Snow menyapu lantai dan mengelap beberapa meja, ditemani Isaiah yang bersiap-siap menjadi barista hari itu. "Snow, jika kamu sudah selesai, kamu boleh langsung ke klinik."

Snow mengangguk, "Aku masih harus mengelap beberapa meja lagi, Isaiah. Oh ya, apakah ruang kerja di balik dapur itu selalu terkunci?"

Giselle Isaiah mengangguk. "Ya, itu ruang pribadi Mark."

"Benarkah? Aku tidak pernah diperbolehkan untuk masuk ke sana. Apa kamu pernah membukanya dan melihat isinya?" Pertanyaan itu membuat Isaiah gugup. Bagaimana ini, apakah ia harus jujur atau tidak pada Snow. Namun, gadis di hadapannya hanya tertawa dan berkata, "Kamu pasti diperbolehkan masuk oleh Mark ya? Tidak apa-apa, Isaiah, katakan saja."

Isaiah mengambil napas dan menjawab, "Baiklah, tapi kamu tidak boleh memarahi Mark."

"Ya, aku janji."

"Ruangan itu hanya ruang kerja biasa, Snow. Tidak begitu luas, namun ada meja cukup lebar di sana. Ada komputer hitam, mungkin untuk dia bekerja dan mengatur keuangan kafe. Ada beberapa buku sastra yang tidak aku mengerti, ada lemari kecil yang berisi sedikit pakaian. Mungkin Mark pernah menginap atau lembur, aku tidak tahu. Tapi yang jelas, ada banyak foto tergantung di sana," penjelasan Isaiah sangat mudah dimengerti.

Snow heran, "Foto?" ia bertanya lagi.

"Ya, ada banyak fotomu dan Mark di sana."

"Benarkah?"

Isaiah mengangguk, "Ya. Foto-foto lama, ketika kalian berlibur di pantai, di taman bermain, di kolam renang, ketika tengah berbelanja, pokoknya banyak sekali fotomu dengannya. Oh, ada foto Ary dan Mark juga di sana."

Mendengar nama Jaenuary disebutkan membuat Snow kehilangan senyumnya,

"Astaga, Snow, maafkan aku, tidak seharusnya aku menyebut namanya."

Snow membalas dengan senyum kecil. "Tidak apa, Isaiah. Lagi pula, aku tidak akan bertemu dengannya lagi."

"Snow, kamu benar-benar tidak mau menemuinya?"

"Ya, buat apa?"

"Hanya saja, aku merasa kalian harus bertemu dan mengobrol empat mata."

"Tidak ada gunanya, Isaiah. Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi." Snow berdusta.

***

Malam itu, Snow sudah pergi ke klinik untuk bekerja membantu Bibi Maryam memasak makanan untuk pasien dan membersihkan dapur. Sesekali, Snow juga ikut memantau keadaan para pasien dan melaporkannya pada perawat yang berjaga.

Di lain tempat, Mark baru saja keluar dari rapat organisasi ketika salah seorang teman menemuinya. "Mark!" itu Helios.

"Ya? Ada apa kau berlari seperti itu, Helios?"

Jaenuary | Jaemin X WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang