5

1K 109 22
                                    

Universitas Pandawa adalah satu-satunya perguruan tinggi di kota itu. Pandawa—diambil dari kisah Mahabharata. Diberikan nama Pandawa agar meski nasib buruk akan selalu datang, penduduk kota akan terus bangkit tanpa pernah merasa putus asa. Mungkin, filosofi itu yang kini tengah diaktualisasikan oleh gadis kecil bertubuh ramping dengan seragam putih abu-abunya yang tengah menyusuri jalan membingungkan Universitas Pandawa.

Satu jam ia duduk sendirian, akhirnya ia melihat anak laki-laki itu. Berjalan sendirian dengan earphone menutupi kedua telinganya. Snow memanggilnya namun tentu saja, Jaenuary tidak bisa mendengarnya. Gadis itu berlari dan menepuk pundaknya. "Janu! Aku memanggilmu empat kali, dasar tuli!"

Jaenuary terkejut atas kedatangan Snow. Ia melepas penyumpal di telinganya dan terkekeh kecil. "Maaf, aku tidak tahu kamu akan datang."

"Tentu saja aku akan datang! Aku sudah menunggu satu jam dan terlihat seperti anak kecil kehilangan arah."

Beberapa orang mulai memperhatikan mereka yang berjalan beriringan. Jaenuary tidak menyukai jenis perhatian seperti itu. Astaga... apa kota ini sebegitu miskinnya sampai anak SMA seusia Snow harus mengenakan rok kekurangan bahan seperti itu? Maka, Jaenuary mulai melepas jaket hitamnya dan mengalungkannya di pinggang Snow. "Apa menurutmu rok anak SD bisa dikenakan oleh siswi SMA?"

Snow mengerti maksud Jaenuary. "Banyak teman sekelasku yang roknya lebih pendek. Oh omong-omong, kita akan mengerjakan tugas di mana, Janu? Kelihatannya, kampus ini sangat sibuk. Ada lautan manusia di sini."

"Kak Janu." Jaenuary memperbaiki.

"Banyak mau. Baiklah, Kak Janu," Snow merasa aneh. Bahkan pada Mark Chello, Snow tidak memanggilnya dengan embel-embel 'Kakak'. "Kita mau ke mana?"

Jaenuary menarik lengan Snow agar mengikutinya ke gedung paling belakang.

"Wow, kita tidak akan melakukan seks di sana, bukan?"

"Pikiranmu sangat kotor, Putri Salju."

Dia membawa Snow ke belakang gedung Fakultas Ilmu Pendidikan. Ada pohon rimbun yang dihiasi gazebo berukuran sedang yang di bawahnya ada kolam ikan. Snow baru pertama kali melihat ada tempat seperti itu. Dengan riang, ia segera berlari dan duduk di gazebo tersebut. "Waaah! Ini apa, Jan—Kak Janu?"

"Gazebo. Duduk yang benar, Salju."

"Namaku Snow."

Jaenuary tidak mendengarkan. Ia melepas sepatunya dan ikut naik, duduk di tengah dan mulai mengeluarkan beberapa buku dari dalam tasnya. Rupanya, itu buku The Chronicles of Narnia – The Magician's Nephew. "Baca sampai halaman lima puluh. Setelah itu, coba simpulkan isinya. Aku akan membantumu dengan sisa halamannya."

Snow mengangguk dan mulai membaca, meski matanya harus dipaksa terbuka. Namun, ia lebih suka melihat ke sekeliling. "Itu gedung fakultas sastra ya?"

"Ya."

"Oh, ternyata indah juga. Kenapa dia tidak pernah bercerita ya?"

Jaenuary melirik gadis itu, "Dia siapa?"

"Lupakan." Snow kembali fokus pada lembar ke-tujuh novel di genggamannya. Sore hari yang begitu menenangkan. Ditemani semilir angin yang membelai lembut kulit wajahnya. Snow seakan dibawa ke dunia yang berbeda, ditemani Narnia, matanya perlahan memejam. Larut dalam alur mimpi yang indah. Gadis itu tertidur. Di pundak Jaenuary.

"Kalau di dekatku, kamu selalu tertidur, Putri Salju."

***

Mark tidak bisa mengganggu temannya lagi karena setelah kelas berakhir, Jaenuary telah menghilang dari pandangan dengan sekejap. Alhasil ia kini berada di kafe. Menemani gadis aneh semalam karena suatu kejadian beberapa jam yang lalu.

"Kamu!" Sebuah suara datang dengan keras, membuat Mark segera membuka pintu dapur dan menghampiri pria ini. "Saya pesan ice Americano, kenapa yang datang malah vanilla?!" Pelanggan itu berteriak tepat di hadapannya.

Sial! Apa aku memikirkan Snow ketika membuatnya?

Mark berusaha sabar dan dengan ramah, ia menjawab, "Baik, mohon maaf untuk pesanan yang salah. Bisa ditunjukkan mana pesanannya, Pak? Akan segera saya ganti."

"TIDAK BECUS!" Pria itu mulai emosi. Padahal, Mark sudah menjawab keluhannya dengan sangat ramah. Dengan cepat, pria gemuk itu mendekatinya dan melayangkan tangan kanan untuk menampar pipi Mark.

Namun, usahanya gagal.

"Ini tempat umum! Apa Anda tidak malu sudah membohongi pekerja kafe ini? Minuman Anda sudah benar, lihat, ini separuh ice Americano. Kalau Anda tidak punya uang jangan beli minum di kafe! Minum saja air sungai! Kelakuan Anda yang memalukan ini disaksikan oleh enam pelanggan lain." Tiba-tiba saja, gadis kecil dengan poni rapi menghentikan aksi pria itu. Gadis itu... Mark mengenalinya. Semalam. Di depan Klinik Pandawa.

"ANAK KECIL TIDAK USAH IKUT CAM-" Giselle Isaiah didorong oleh pria itu. Membuatnya jatuh tersungkur. Dengan sigap, beberapa pengunjung menghentikan aksi pria itu tak terkecuali Mark Chello yang mulai habis kesabarannya.

"Saya kembalikan uang Anda, silakan keluar dan jangan pernah kembali lagi ke kafe ini. Saya tidak akan segan untuk melaporkan Anda ke kantor polisi."

Begitulah kejadian sore itu berlangsung. Dan karena alasan itulah yang membuat Isaiah duduk dengan tenang membaca novel Narnia—yang dipinjamnya dari perpustakaan kota—sembari menyesap kopi hangatnya ditemani Mark Chello berbincang.

"Terimakasih untuk yang tadi," kata Mark, untuk kedua kalinya.

Isaiah tersenyum. "Ya."

"Kau sedang apa?"

"Kamu sepertinya buta ya? Jelas-jelas aku tengah membaca buku. Pantas saja tadi kamu langsung percaya omongan penipu itu. Ternyata pikiranmu ke mana-mana." Isaiah tertawa.

Mark meneguk teh hijaunya. "Tidak seperti itu."

"Lalu bagaimana? Bisa-bisanya mudah sekali percaya pada seseorang yang berniat tidak membayar setelah menghabiskan minumannya."

"Mulutmu memang selalu berucap seenaknya, ya? Mirip sekali dengan temanku." Mark bertanya lagi, kali ini sedikit kesal.

"Snow Kimmy maksudmu? Aku tidak mirip dengannya. Justru anak itu yang sangat menjengkelkan. Membuat aku harus ekstra sabar menghadapinya," jawab Isaiah tidak setuju. "Lagipula, di mana temanmu itu? Aku harus mengajaknya mengerjakan tugas Bahasa ke perpustakaan kota."

Mark menggeleng. "Dia tidak mau berteman denganmu."

"Lalu kenapa dia mau berteman denganmu?"

"Aku pusing mendengarkan semua jawabanmu atas pertanyaanku. Lebih baik kamu pulang saja."

"Kau mengusirku?! Aku telah membantumu!"

Membantu pantatku! Batin Mark Chello.

***

Hitam atau Putih?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hitam atau Putih?

Jangan lupa vote & komen🖤 I'm

Jaenuary | Jaemin X WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang