12

434 77 14
                                        

Malam itu, seusai mengantarkan Snow ke Klinik Pandawa, Mark kembali ke kafenya dan menemani Isaiah belajar untuk ujian beberapa hari lagi. Mark memberikan Isaiah kopi hangatnya yang langsung diterima dengan senyum ramah oleh gadis itu.

"Mark, boleh aku bertanya sesuatu? Sudah berapa lama kamu kenal dengan Snow?" tanya Isaiah hati-hati. Mark yang berada di hadapannya dengan apron biru kemudian tersenyum. "Kenapa kamu tersenyum?"

"Astaga, aku tersenyum ya?" Mark terkekeh. "Aku mengenal Snow sejak kami berada di Panti Pandawa."

"S-Snow di panti?!"

Mark mengusap telinganya karena teriakan melengking Isaiah. "Cukup-cukup! Akan aku ceritakan. Suaramu menusuk telingaku. Baiklah, jadi aku dan Snow sama-sama tidak punya orang tua. Aku tinggal di panti selama satu tahun atau lebih, dan mengenal gadis itu. Lalu, pamanku dari kota lain datang dan membawaku. Sejak saat itu kita berpisah. Tapi kita terus bertemu setiap hari, dan aku sering mengunjunginya. Sampai sekarang."

Isaiah mendengarkan dengan baik semua ucapan Mark.

"Snow seperti seorang teman, bahkan lebih dari seorang sahabat. Dia selalu ada untukku dan aku akan mencoba selalu ada untuknya. Kami berbagi duka yang sama."

"Kamu suka padanya, ya?" Isaiah baru menyadari fakta itu.

Mark terkejut. "B-bagaimana kamu tahu? Apakah sangat terlihat?"

"Ya, sangat terlihat, Mark. Lalu bagaimana, apakah kamu sudah menyatakannya?"

"Tidak. Aku takut itu akan merusak persahabatan kita."

Gadis itu mengangguk mengerti. Benar juga, berada di posisi Mark atau pun Snow sama-sama tidak mudah. "Apa Snow juga menyukaimu?"

Mark menggeleng, senyumnya mulai samar. "Sepertinya tidak. Dia selalu berkata bahwa ia mau jadi temanku selamanya. Hanya teman. Dan ia selalu menganggapku seperti seorang kakak baginya."

"Oh, Mark..."

"Tidak apa-apa, Isaiah, aku pun tidak akan memaksa Snow untuk menyukaiku. Berada di sekitarnya saja sudah membuatku bahagia. Dengan siapa pun nanti Snow akan memberikan hatinya, aku akan mencoba menerimanya."

Isaiah mengambil punggung tangan Mark dan mengusapnya pelan. "Kamu baik sekali."

"Oh ya, kamu yang membereskan meja kerjaku, ya? Foto Ary tiba-tiba ada di dapur."

Isaiah mengingat hari di mana Jaenuary datang. "Astaga! Ya, aku lupa memberitahumu. Ary itu sahabatmu juga, ya? Dia satu kelas denganmu?"

Mark mengangguk.

"Dia sering datang ke sini, Mark?" tanyanya.

"Kafe ini seperti miliknya, Isaiah. Dia ikut membangun kafe ini bersamaku."

"Ah, aku mengerti. Apakah dia tahu bahwa kau sedang menyukai Snow?"

"Tidak. Aku tidak pernah memberitahunya. Aku berniat mengenalkannya dengan Snow tetapi sepertinya sifat mereka terlalu berbeda. Mereka terlihat tidak cocok bersama."

Gadis itu menutup buku pelajarannya dan kini netranya benar-benar tertuju pada Mark Chello. "Tunggu, apakah Snow punya kakak?" Mark menggeleng. Isaiah terkejut. "Tidak?! Maksudnya, Snow seorang diri? Maksudku, dia tidak punya siapa-siapa?" Pertanyaan itu kembali dijawab dengan anggukan. "Mark! Apakah Ary punya adik?"

Mark mengangguk. "Ary punya saudara kembar tidak identik. Namanya Jaevano. Ia punya seorang kakak laki-laki namanya Jaeffrey. Tapi Ary tidak punya seorang adik, Isaiah, kenapa?"

***

Hari di mana ia mendatangi rumah Jaenuary ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Sudah satu minggu Snow tidak bertemu dengan anak laki-laki itu. Setiap sepulang sekolah, Snow akan dengan cepat menaiki bis kota yang mengantarkannya ke Universitas Pandawa. Snow duduk di kantin, menunggu anak laki-laki itu. Di lain waktu, ia akan duduk selama berjam-jam di gazebo hanya untuk menunggunya selesai mengikuti perkuliahan. Namun, semuanya nihil. Snow tidak pernah bertemu dengannya.

Jaenuary | Jaemin X WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang