2

1.9K 179 36
                                        

Guru Bahasa SMA Pandawa akhirnya menghentikan sesi ceramah materinya karena bel pulang telah berbunyi nyaring di seluruh kelas. Ia lalu berdeham, kembali ke kursinya semula, membereskan barang-barang, tak terkecuali kacamata bergagang hitam yang berbentuk bulat sempurna ke dalam tas abu-abunya. Guru Bahasa kemudian mengucapkan salam.

"Baiklah, untuk tugas selanjutnya, saya wajibkan kalian untuk membaca novel The Chronicles of Narnia satu sampai tujuh dan menceritakan kembali di depan kelas."

Gemuruh ketidakpuasan mengisi kelas sore itu.

"Tidak ada penolakan. Kalian wajib membaca dan mengetahui isi dari novel tersebut. Ingat, saya akan tahu jika kalian hanya membaca sinopsis atau mencari review di internet. Sampai jumpa dua minggu lagi."

***

Snow menghela napas lelah. Dengan malas, gadis itu mulai merapikan barang-barangnya di atas meja dan segera beranjak meninggalkan kelas sebelum sebuah suara menyerukan namanya dengan keras.

"Snow! Tunggu!"

Snow menoleh, mendapati seseorang yang tidak ia kenal. "Siapa?"

Gadis yang menyerukan namanya terlihat sedikit tersinggung, tetapi ia menutupinya dengan senyum. "Hai, aku Giselle Isaiah. Kita sekarang satu kelas setelah libur semester."

"Ya, ada apa Isah?"

"Isaiah... Oh lupakan perkara namaku. Aku hanya ingin tahu apakah kamu sudah membaca salah satu novel Narnia karya Lewis?" Isaiah mengikuti langkah Snow yang mulai menuruni anak tangga.

Meski malas berbasa-basi dengan orang baru ini, Snow tetap mencoba tersenyum. "Belum."

"Baiklah, aku ingin tahu apakah kamu berniat membacanya bersamaku di perpustakaan kota?"

Snow menggeleng.

Isaiah hanya mengangguk paham dan ia mencoba mengerti akan sikap ketus Snow. "Oke, kalau kamu nanti berubah pikiran dan mau membacanya bersama, jangan sungkan untuk menghubungi aku ya."

Snow meninggalkan Isaiah tanpa menjawab sepatah kata pun.

Kata orang, jika kita pernah merasakan yang namanya kehilangan, kita akan bisa berdamai dengan cara mengikhlaskan. Dulu, Snow sudah pernah kehilangan dua orang yang sangat berarti di hidupnya. Ayah dan Ibunya meninggalkan gadis bernama Snow Kimmy saat umurnya masih dua tahun. Snow tidak pernah tahu alasannya, namun, Bibi di panti mengatakan bahwa kedua orang tuanya meninggal diterjang tsunami beberapa tahun yang lalu. Snow sudah belajar merelakan kepergian mereka.

Namun, kini, ia harus kehilangan dua orang lain yang sangat ia sayangi. Karina dan Ninggar pergi meninggalkannya karena gempa bumi sialan itu! Mereka tidak sempat melarikan diri saat tubuh keduanya dihantam reruntuhan.

Snow belum bisa berdamai, justru dia sangat marah pada keadaan. Hari-harinya dilalui dengan diam. Ia yang dulu ceria, selalu berbahagia, dan tidak pernah meneteskan air mata kini sirna. Snow tidak tahu lagi bagaimana caranya ia akan menjalani hidup. Ia sendirian, tidak punya siapa pun.

"Apa kabar, Snow?" sahut seorang pengemudi bis kota yang sudah lama dikenalnya.

Snow hanya mengangguk tersenyum, dan melangkah ke bangku paling belakang, memejamkan matanya hingga sampai di persimpangan jalan.

***

Seharusnya empat puluh lima mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pandawa selesai dua jam yang lalu. Tetapi tiba-tiba saja, kelas Bu Elijah mundur beberapa menit dan menyebabkan mereka selesai lebih sore daripada biasanya.

"Kamu ke kafe 'kan?" Mark melangkah lebar menyusul teman laki-lakinya yang lebih dulu menyumpal kedua telinga dengan benda bulat kecil bernama earphone.

"Ary!" dengan tidak sabar, Mark mendorong bahu teman karibnya yang mengabaikannya.

Jaenuary mendengus. "Tidak. Aku akan pulang."

"Tidak setia kawan. Aku mendapat giliran shift sampai pukul dua belas malam."

"Bukan urusanku." Laki-laki yang dipanggil Ary itu lalu melenggang pergi, meninggalkan Mark yang merutukinya dalam bisikan-bisikan yang sudah dihafal olehnya. Dengan langkah cepat, ia berjalan ke arah gerbang kampus dan menuju halte. Menunggu bis kota menjemputnya. Ketika badan mobil panjang berwarna biru laut akhirnya mendarat di hadapannya, ia langsung beranjak dan memilih bangku paling tengah. Menutup wajahnya dengan masker hitam dan mulai memejamkan mata.

Sepuluh menit, lima belas menit, dua puluh menit... Jaenuary benar-benar tertidur hingga ia tak sadar bahwa buku-bukunya sudah berceceran di lantai bis karena meluncur bebas dari dekapannya.

Ia tersadar ketika seseorang menepuk punggungnya dan mencabut earphone yang semula ditanamkan di kedua telinga.

"Buku anda." Gadis itu menyerahkan lima buku tebal padanya. Ia memandangnya sekilas dan netra keduanya bertemu. "Maaf jika saya lancang, apakah anda mahasiswa jurusan Bahasa?"

Jaenuary masih menatap lekat kedua netra cokelat itu.

Snow melambaikan tangan di hadapan laki-laki yang tengah melamun. "Halo, permisi? Saya bicara dengan manusia 'kan?"

Jaenuary mengangguk.

"Baguslah. Hai, namaku Snow."

Jaenuary mengambil buku-bukunya. "Salju?"

"Yang jelas bukan Anna. Apa kamu mahasiswa jurusan Bahasa?"

"Bukan." Laki-laki itu berniat untuk pergi, namun, gadis kecil di hadapannya ini memiliki kekuatan setara dengan tentara terlatih yang sudah memiliki otot besar dan fisik mumpuni. Bagaimana bisa ia mendorongnya hingga jatuh terduduk di bangkunya semula dan lekas melarangnya pergi—menyanderanya.

Snow melirik, "Ada buku J.K. Rowling di situ," Tatapannya beralih pada tumpukan buku.

Laki-laki itu mendengus.

Baiklah, dia bisu, pikir Snow. "Mulutmu hanya pajangan? Kamu bisa menjawab 'ya', 'tidak', 'bagaimana kamu tahu, Snow?', atau rangkaian huruf lainnya yang ada di Bahasa kita."

Jaenuary terperangah. Gadis aneh.

"Aku tidak punya banyak uang. Tapi aku butuh bantuanmu untuk menyelesaikan tugasku. Mudah saja, nanti akan aku beritahu. Bayarannya terserah, apa saja, asalkan bukan uang dan menyangkut seks."

"Tidak berminat." Dengan ketusnya, Jaenuary menjawab.

"Jawabanmu sudah aku prediksi. Tapi, hanya kamu yang bisa membantuku. Pertama, aku tidak punya uang untuk membeli tujuh novel Narnia, aku tidak suka membaca, aku tidak suka mengerjakan tugas, aku tidak suka bertemu Pak Kumis, aku tidak suka pelajaran Bahasa Indonesia, dan aku benci harus menceritakan sebuah kisah di depan kelas. Aku mohon, bantu aku. Akan aku turuti semua keinginanmu kecuali uang... dan hubungan seks." Snow mengatakannya seolah-olah ia telah lama mengenal anak laki-laki itu.

Bis kota berhenti. Snow melangkah pergi, melambaikan tangan dan tersenyum manis. "Aku anggap kamu setuju. Oh ya, tolong bayarkan ongkosnya."

***

Gimana hari kalian?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gimana hari kalian?

Jangan lupa vote & komen🖤

Jaenuary | Jaemin X WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang