16

339 58 7
                                    

Jaevano mengambil porsi nasi goreng masakan Mama dengan sangat banyak. Hampir menghabiskannya dan tak menyisakan untuk kembarannya, Jaenuary. Pagi itu, di kediaman Keluarga Lentino, dua kakak beradik kembar tak identik sedang meributkan siapa yang akan mendapatkan tugas untuk mencuci piring.

Jaevano menyarankan untuk bermain tebak kata, dan alhasil, Jaenuary yang kalah. "Cuci yang benar ya, adikku tercinta."

"Tercinta pantatku!"

"Kau semakin mirip dengan Mark kalau sedang marah."

"Jangan berani kau sebut namanya."

Di tengah meja makan, Jaevano tersedak oleh jus semangkanya. "Kalian bertengkar? Anak kuliahan? Jangan bilang karena masalah wanita?"

Sial, Jaevano terlalu peka dan seringkali tebakannya benar.

"HAH? BENAR?"

"Diam! Nanti Mama dan Papa dengar!" Jaenuary menatapnya horror.

Jaevano justru tertawa semakin kencang. "Gila! Kembaranku ternyata masih normal. Baiklah, aku akan tutup mulut asalkan kau menceritakan tentang wanita ini." Jaevano mengambil kursi dan duduk di dekat kembarannya yang tengah mencuci piring dan gelas. "Oh my god! Sepertinya aku tahu siapa wanita itu, Ary. Dia yang tempo hari datang ke rumah mencarimu 'kan? Dia yang ingin meminta maaf padamu?!"

Mengingat kejadian itu, ujung bibir Jaenuary tiba-tiba terangkat membentuk senyum kecil. Jaevano jelas menangkap ekspresi itu dan semakin histeris karenanya. "Sial! Kau pintar juga memilih pasangan. Ceritakan bagaimana dia!"

"Dia baik. Wajahnya kecil, bak telur. Rambutnya hitam legam, lembut ketika diterpa angin. Hidungnya cantik. Bibirnya merah muda dan sangat manis ketika tersenyum. Matanya berwarna cokelat tua. Tubuhnya kecil sehingga harus sering digandeng jika berjalan di trotoar. Tingkahnya menggemaskan. Suaranya selalu keras melengking. Dan dia suka vanilla."

Pagi itu hingga malam harinya, Jaevano tak henti menggoda kembarannya. "Snow sepertinya satu-satunya gadis yang bisa membuatmu bertengkar dengan Mark Chello. Hebat."

"Diam atau aku gunting lidahmu!"

Jaevano terkekeh. "Baiklah, aku akan diam. Tapi surat ini tak akan berhenti untuk datang menanyakan kabar." Sebuah amplop cokelat berhasil menarik perhatian Jaenuary. "Cepat atau lambat, kau harus segera memberitahu Mama dan Papa, Ary."

Jaenuary melangkah untuk mengambil surat itu. "Pergi, Jaeno. Awas, jangan beritahu Mama dan Papa. Aku sendiri yang akan memberitahu mereka."

"Kapan?"

"Secepatnya."

***

Pemakaman Amora Isaiah dilakukan hari itu juga, pukul tujuh pagi. Tubuhnya yang sudah cantik dibawa oleh mobil klinik ke puncak dan ia dikremasi di sana. Snow, Mark, Bibi dan Paman, Giselle Isaiah, dan beberapa teman dekat Amora hadir untuk menyaksikan prosesi itu dan mengucapkan selamat tinggal untuk yang terakhir kalinya.

Isak tangis masih terdengar ketika abu Amora mulai ditaburkan di dekat salah satu pohon pinus. Tidak jauh dari pemakaman kedua orang tua Mark. Mereka satu per satu mendapat kesempatan untuk menaburkannya. Giliran Isaiah yang terakhir menyebarkan abu kakaknya, sambil menangis, Isaiah mulai memeluk pohon itu dan mengikatkan kain putih. Tak lupa pula, papan nama khusus juga diikatkan di sana. Tertulis, Ms. Amora Isaiah.

"Selamat tinggal, kakak."

Snow yang berada di dekat gadis itu memeluk Isaiah erat. Berharap semua kesedihan Isaiah bisa secepatnya hilang dan bebannya sedikit tersalurkan.

"It's okay, Isaiah. Amora sudah bahagia."

"Aku tahu, Snow."

"Ayo, kita pulang."

Jaenuary | Jaemin X WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang