[THE DREAM SERIES 1 - COMPLETED]
Jaenuary Lentino bertemu dengan Snow Kimmy, gadis cantik yang penuh dengan kemurungan. Keduanya terpaksa dipertemukan dalam suatu kejadian yang dapat mengubah jalan hidup mereka. Apa yang akan terjadi selanjutnya?
.
...
Kafe yang semula milik pamannya itu kini dimiliki oleh Mark Chello, mahasiswa semester dua di Universitas Pandawa, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mark semula ingin mengambil jurusan akuntansi, tetapi, ia tidak bisa mengesampingkan mimpinya untuk bisa menjadi penulis suatu saat. Maka, ia kini disibukkan dengan kuliah dan mengelola kafe.
Beberapa bulan yang lalu, gempa bumi 7,1 SR (Skala Ritcher) mengguncang separuh bagian Timur dunia dan mengakibatkan banyak kerugian. Kafe milik Mark juga runtuh, tetapi tidak separah beberapa bangunan di sekitarnya. Ada sedikit tabungan dan ia berhasil membangun kembali kafenya.
Laki-laki itu kini memandang jalanan malam yang sepi dari pinggir trotoar sembari bersandar pada tiang sebuah pagar besi berkarat. Ia menunggu seseorang dari Panti Asuhan Pandawa.
"Mark?" Gadis itu mendapati sahabatnya sudah tiba.
Yang disebut namanya kemudian tersenyum, "Hai, Snow." Ia mendekati gadis itu dan menggandeng tangannya. Sudah beberapa tahun terakhir, ia selalu mengantar gadis itu untuk bekerja paruh waktu di sebuah klinik, tidak jauh dari panti. "Aku membawakanmu kopi hangat."
Snow menerima botol plastik berwarna ungu dan ia membukanya. Ada aroma kafein dan wangi vanilla yang kuat. Sambil berjalan di trotoar, Snow tersenyum berterimakasih.
"Bagaimana sekolahmu?"
Snow mengangkat bahu. "Biasa saja," ujarnya. "Ada seseorang yang tiba-tiba mendekatiku tadi."
Mark tiba-tiba berhenti melangkah. "Anak laki-laki?"
"Bukan, Mark." Snow tertawa, melihat wajah panik sahabatnya. "Perempuan. Entahlah siapa namanya. Isah? Saiah? Saih? Aku tidak ingat. Yang jelas dia tiba-tiba berlagak kenal denganku. Lupakan saja. Bagaimana kuliahmu? Jangan bilang kamu membolos lagi?"
Mereka kembali berjalan. Lampu putih kekuningan dari dalam klinik sudah terlihat. Sebentar lagi mereka sampai. "Baik-baik saja. Aku jarang bolos, Snow."
"Awas saja, akan aku bunuh kamu kalau berani membolos."
"Kejam."
Tibalah mereka tepat di depan Klinik Pandawa. "Hati-hati Snow, nanti aku kembali pukul sebelas malam untuk menjemputmu."
"Ya. Terimakasih, Mark, sampai nanti!" Snow melangkah memasuki klinik.
***
Snow sudah hidup sendiri sejak kecil. Ia tidak punya orang tua. Ia hidup di Panti Asuhan Pandawa selama bertahun-tahun sebelum Karina dan Ninggar hadir di hidupnya. Tapi tak lama. Keduanya pergi. Sejak umurnya delapan tahun, Snow sangat tertarik pada dapur. Ia suka bau cengkih, jahe, kemiri, daun jeruk, dan bumbu-bumbu dapur lainnya. Maka sejak ia SD, Snow sudah sering membantu Ibu Kantin di Panti Asuhan. Bahkan di SMP-nya dulu, Snow berjualan kue buatannya sendiri. Dapur membuatnya tenang. Ia tidak akan sibuk memikirkan orang tuanya, ia hanya akan bergulat dengan rempah dan bahan makanan. Snow sangat suka berada di dapur. Maka, ketika Bibi panti mengatakan bahwa ada pekerjaan paruh waktu di klinik sebagai asisten koki, Snow mengambil kesempatan tersebut.
"Hai Dewi!" ia menyapa anak kecil berumur 7 yang tengah bermain di taman klinik.
Snow melangkah riang, "Oh, apa kabar Pak Jati?"
Hampir seluruh petugas di klinik tersebut dikenalnya. Ia kemudian berbelok di lorong ujung. Snow disambut oleh atasannya, Bibi Maryam. "Hai Snow, tepat waktu sekali. Mari, kita buat makan malam untuk pasien."
"Ya, Bibi." Dengan langkah pasti, gadis itu mulai mengambil beberapa gelas beras dari sebuah toples besar, mencucinya, dan memasaknya. Lalu, Snow mengambil beberapa potong roti, setelah selesai membuat sandwich, gadis itu kini beralih membuat sayur sop. Perlahan namun pasti, Snow mulai memotong wortel, kentang, kacang panjang, dan kubis. Tak lupa daging ayam segar dari kulkas juga ia potong-potong berbentuk kotak kecil.
Ketika akhirnya semua pekerjaan selesai, Snow mulai membereskan dapur. Sebuah suara tiba-tiba mengganggu aktivitas gadis itu. "Snow? Snow Kimmy?"
Sial! Anak perempuan sok kenal di sekolah!
Ia mendekati Snow. "Hai Snow, aku Giselle Isaiah. Kamu sedang apa di sini?"
Snow ingin melarikan diri. "Kamu buta? Aku sedang membereskan dapur."
"Maaf. Oh ya, apa kamu sudah punya niat untuk membaca buku Narnia denganku?"
"Tidak. Aku harus pulang." Snow menjawab ketus.
"Biar aku temani."
Sial betul! Snow melepas apron putihnya, membuka cepol rambutnya dan masker di hidungnya. Membiarkan rambut hitam legam itu kini terurai. Selama berjalan di trotoar, Snow memikirkan beribu cara untuk membuat gadis itu pergi. Namun, bagaimana? Gadis itu seperti memiliki lem yang ingin merekat dengannya. Selama berjalan beriringan, gadis itu tersenyum, sesekali bersenandung.
"Aku rindu berjalan-jalan seperti ini."
"Tidak ada yang bertanya."
Isaiah terkekeh. Sudah mulai terbiasa dengan sikap menjengkelkan Snow. "Aku menemukan buku Narnia di Perpustakaan Kota. Mau pergi denganku?"
Snow berhenti. "Sudah aku bilang, aku tidak mau!" ia menjawab, berteriak. Mereka kini sama-sama diam. "Jangan ganggu aku. Aku tidak mau berteman denganmu." Snow berniat pergi karena ia malu... Sejujurnya ia malu jika gadis yang tak ia kenal itu mengetahui fakta bahwa ia miskin, sebatang kara, tinggal di Panti Asuhan Pandawa dan tak punya siapa-siapa. Maka, Snow berjalan memutar. Tidak melewati trotoar yang dilaluinya dengan Mark, melainkan pergi ke arah halte bus.
"Aku hanya ingin berteman denganmu. Di mana rumahmu, Snow? Mari aku antar."
"TIDAK PERLU!"
Saat itu, halte masih saja ramai dengan manusia-manusia yang menunggu datangnya bis kota. Ekor matanya menangkap sosok anak laki-laki yang bisa membantunya. Maka, Snow melangkah ke kerumunan tersebut, meninggalkan Isaiah yang menyebalkan. "Kakak!"
Isaiah memandangi Snow menghampiri anak laki-laki dengan almamater Universitas Pandawa yang dipanggil 'Kakak'. Sepertinya Snow kenal dengan anak laki-laki itu, tetapi dia sepertinya merasa asing dengan Snow.
"Ayo kita pulang!" Snow menggandeng anak laki-laki tersebut yang kini terlihat bingung dan bodoh, membawanya ke dalam bis kota yang datang, lalu duduk di bangku paling belakang. Meninggalkan Isaiah sendirian di halte itu memandanginya pergi, dibawa kendaraan ke penghujung jalan.
"Kamu siapa?"
"Putri Salju. Biarkan aku tidur sebentar. Aku sangat lelah." Lalu gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak Jaenuary yang mulai ingat pada gadis aneh tempo hari.
Kita bertemu lagi, gadis aneh.
***
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.