06. Mess.

17 1 0
                                    

Coba jelaskan, bagaimana caranya beradaptasi dengan situasi aneh seperti ini?

-Sobema-

>>>>>>>>>>>>>>>>*<<<<<<<<<<<<<<<

Daniel memasukkan semua barang-barangnya ke koper berukuran sedang. Meski pergerakannya terlihat sangat santai seperti di pantai, sebenarnya di dalam hati ia sedang menggerutu tak keruan. Kebijakan Ayah kali ini membuatnya tak habis pikir, tak henti-hentinya ia bertanya kepada udara yang sudah terkontaminasi pengharum ruangan di kamarnya "Untuk apa sih? Kenapa sih? Biar apa sih? Apa sih motivasi dan tujuannya? Latar belakangnya apa? Benefit yang didapet apa? Nggak ada!"

Untuk yang kesekian kalinya ia menghempaskan nafas kesal, ya karena hanya itu yang bisa ia lakukan. Protes ke Ayah? Percuma, tidak akan didengar. Mengadu ke Mama? Ya sama saja, kedudukan Mama lebih rendah satu level di bawah Ayah.

Hari ini tiba-tiba saja Ayah memerintahkan ketiga anaknya untuk pindah kamar. Kamar Elang yang tadinya ada di lantai empat kini dipindah ke lantai dua. Begitu juga dengan Daniel dan Bilal. Daniel dari lantai satu pindah ke lantai dua, ke kamar yang ada di samping kamar Elang. Bilal dari lantai tiga pindah ke lantai dua, kamarnya berada di samping kamar Daniel.

Mulai hari ini mereka akan tinggal di kamar yang berjejer. Berurutan. Elang, Daniel, Bilal.

Sebenarnya keputusan Ayah kali ini tidak begitu diambil pusing oleh Elang dan Bilal. Hal semacam ini bukanlah hal yang bisa berdampak besar bagi mereka. Mau dipindah kemanapun, selagi ada kasur untuk tidur ya mereka akan tetap bisa tidur. Tapi lain halnya dengan Daniel. Ia adalah orang yang paling terpuruk dalam situasi ini. masalahnya, kamar yang ia tempati di lantai satu itu adalah kamar yang sudah ia tempati sejak kecil. Bisa dibayangkan, betapa sedihnya hati laki-laki itu saat tiba-tiba ia disuruh pindah kamar begitu saja oleh Ayah. Tidur di kamar lain dirumah ini? entahlah, mungkin ia tidak bisa tidur di malam-malam awal kepindahannya.

Sementara di kamarnya, Elang masih tidur-tiduran tanpa berniat melakukan kegiatan apapun. Ia malas membenahi baju-bajunya, biarlah para pelayan mansion ini yang melakukannya nanti. Tanpa sadar ia sudah mulai kembali terbiasa dengan mansion dan hal-hal yang ada di dalamnya. Termasuk pelayanan dan fasilitas yang Ayah berikan.

Sedangkan Bilal, ia bergegas ke ruang kerja Ayah setelah berjam-jam lalu diarahkan oleh Galuh. Ia memutuskan untuk berkeliling rumah setelah makan siang tadi.

"Apa lo?" ketusnya saat berpapasan dengan Daniel dalam perjalanannya. Daniel yang hendak naik ke lantai dua untuk menempati kamar barunya, sedangkan ia yang hendak turun ke lantai satu untuk menemui Ayah di ruang kerjanya. Mereka bertemu di tangga utama karena lift di rumah masih rusak sejak dua hari yang lalu.

Dengan wajah angkuh Daniel membuang arah pandangannya. Tak berniat menatap orang itu lebih lama. Ia melanjutkan kegiatannya, begitu juga dengan Bilal.

Tak butuh waktu lama bagi Bilal untuk sampai di tempat yang ia tuju. Setelah berkeliling tadi, ia sudah mulai bisa mengingat beberapa sudut utama rumah ini. Ternyata besar rumah ini kurang lebih sama dengan besar pasar kota tempat dimana ia tumbuh. Jadi sama sekali tidak ada rasa lelah yang hinggap meski ia sudah berkeliling rumah dan naik-turun tangga tanpa menggunakan lift. Ia sudah terbiasa dengan lorong-lorong panjang pasar serta tangga-tangganya yang berdiameter kecil. Tidak seperti kemarin saat ia merampok seisi rumah, kali ini ia tidak tersasar.

"Kamu harusnya ketuk pintu dulu," omel Ayah saat sosok Bilal tiba-tiba muncul di hadapannya. Dari sekian pakaian yang sudah disiapkan satu lemari untuknya, laki-laki itu memilih kaos hitam dan celana pendek abu untuk ia kenakan hari ini. Hari pertamanya menjadi anak bungsu Panduwinata. Ia berdiri santai menatap sang Ayah malas.

ADIWIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang