13. Geruh Menderu.

14 1 0
                                    

"Apa yang tidak membunuh kita, membuat kita lebih kuat."

- Friedrich Nietzsche

>>>>>>>>>>>>>>>*<<<<<<<<<<<<<<<

"Elang? bangun, Nak,"

Butuh waktu sekian detik untuk Elang bisa membuka matanya yang berat. Entah, sudah benar-benar terbuka atau belum, Elang pun tak yakin. Karena tak ada yang bisa ia lihat saat ini kecuali cahaya putih yang memendar.

"Bunda?" Sedikit demi sedikit indera penglihatannya menajam. Menampilkan sosok yang sangat ia rindukan sedang terduduk di samping ranjangnya.

"Bangun, Nak." Suara Bunda yang lembut kembali mampir di telinganya.

"Elang udah bangun, Bun." Meski masih terbaring, Elang sangat yakin bahwa dirinya sudah terjaga dengan sepenuhnya. Bunda tersenyum, menampilkan senyuman terindah yang membuat Elang ingin menitikkan air matanya saat itu juga.

Sosok cantik Bunda yang tak pernah menua membuat Elang tak mau menyampaikan apapun padanya. Perihal rindu yang tak pernah terobati, perihal kesepian yang selalu menemani, semua kata seperti menguap dari mulutnya. Yang ingin Elang lakukan saat ini hanyalah memperhatikan setiap inci wanita tersayangnya.

Jauh di lubuk hatinya, Elang harap ini bukanlah sekadar mimpi. Ia benar-benar ingin selalu berada di sisi Bunda. Tak peduli jika sang Bunda menjemputnya ke dunia lain sekali pun, Elang tidak akan membiarkan Bunda meninggalkannya lagi kali ini.

"Kamu masih bisa dengar suara Bunda?" Bunda mengelus telinganya.

Elang mengangguk perlahan. Badannya terasa sangat kaku untuk digerakkan.

"Kalo gitu bangun ya, Nak." Elang linglung. Padahal ia sudah bangun sejak pertama kali Bunda menyuruhnya bangun.

Tangan Bunda terjulur, membelai halus kepala Elang dengan penuh kasih sayang. Elang benar-benar mengunci fokus matanya pada Bunda. Bahkan tak mau berkedip sedetik pun karena takut sosok Bunda akan menghilang ketika ia kembali membuka mata.

"Bunda," lirihnya memberi jeda. "Bunda apa kabar?"

"Baik, Nak." Bunda menghentikan gerakan tangannya. Beliau kemudian terdiam. Tak melakukan hal apapun kecuali membalas tatapan nanar lawannya.

"Bunda kok nggak nanyain kabar Elang?"

"Kabar kamu juga baik, kan?" kini tangannya mengenggam kepalan tangan Elang. Sensasi hangat yang diberikannya ternyata masih sama seperti dahulu.

Elang menggeleng, "Nggak, Bun. Kabar Elang buruk." perlahan tapi pasti pelupuk matanya terasa memanas. Bibirnya bergetar. Bunda pasti tidak tahu betapa rumitnya hidup Elang setelah kepergiannya. Ada banyak sekali keluh yang Elang ingin sampaikan, tentang kehidupannya. Ada puluhan kisah yang ingin ia ulas bersama Bunda. Ada ratusan canda yang ingin Elang rasakan bersama Bunda. Ada ribuan rasa sakit dan kecewa yang ia hadapi sendiri selama ini.

Mengenai sulitnya menjadi dewasa, mengenai kejamnya Ayah, menyebalkannya Bilal, tentang dendamnya pada Mama. Dan tentang apapun yang membuat hidupnya sengsara.

"Elang kan kuat." Bunda terlihat seperti menahan tangisnya. "Jagoannya Bunda kan bukan laki-laki yang lemah." Bunda menepuk-nepuk tangannya sayang.

Elang menggeleng, ia tidak sekuat apa yang Bunda pikirkan. Tak mengertikah Bunda bahwa dirinya tak baik-baik saja?

Sampai akhirnya Bunda sadar bahwa anaknya ini benar-benar menangis meluapkan sesak di hatinya.

"Loh, Bunda pikir anak Bunda udah dewasa, ternyata masih kayak anak kecil gini. Masih cengeng yah."

ADIWIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang