14. Menggalang Peluang.

13 1 0
                                    

Tercubit paha kiri, paha kanan pun berasa sakit.

>>>>>>>>>>>>>>>*<<<<<<<<<<<<<<<

Mama membuka matanya cepat ketika satu monitor mengeluarkan suara yang tidak normal.

"Nak," dengan panik setangah mati, Mama mencoba mencoba memanggil-manggil Daniel. Demi apapun, suara dengingan panjang itu terdengar begitu menyengkak di telinga Mama. "Daniel, sayang."

Apa kiamat dunianya Mama akan segera terjadi? Jika iya, maka monitor yang mengeluarkan bunyi bising itu adalah sangkakalanya.

"Daniel, nggak Daniel, nggak!" Di sunyinya ruang ICU, suara gemetar Mama terdengar menggema.

Air yang keluar dari matanya sudah terjun bebas, mengalir ke tempat yang lebih rendah. Tidak diseka apapun karena tangan Mama kini hanya sibuk mengguncang bahu Daniel.

"Dokter! Suster!" teriak Mama berangasan. Di saat- saat genting seperti ini kenapa tidak ada dokter dan perawat yang standbye?

Tangan Daniel yang masih dihiasi dengan infus itu digenggamnya lembut. Tak ada yang bisa ia lakukan lagi selain memeluk raga sang anak. Mau menyumpahi dokter dan perawat yang tak kunjung datang pun Mama sudah tidak punya tenaga.

"Nak, jangan tinggalin mama."

Kabut hitam seolah mengendap di hati Mama yang kalut. Membuatnya sesak dan kesulitan untuk bernafas, hingga akhirnya Elang berlari ke arahnya diikuti dengan seorang dokter perempuan.

"Elang. Daniel, Elang, tolongin Daniel, Mama mohon Elang." suara gemetar Mama berubah menjadi parau, ia memohon seperti pengemis jalanan. Sangking kalutnya Mama, ia bahkan tidak menyadari bahwa dokter perempuan yang tadi datang bersama Elang terus berjalan melewati brangkar Daniel dan berhenti di brangkar paling ujung ruang ICU.

"Ma," gumam Elang. "Kenapa, Ma?" Elang keheranan. Ia masih belum mengetahui situasi apa yang sebenarnya sedang terjadi. Gerakan mulut Mama sama sekali tak bisa ia baca.

Mama semakin meracau saat Elang berusaha mengelus kedua pundaknya untuk menenagkan.

"Mama mohon Elang. Tolong Daniel, Mama nggak bisa hidup tanpa Daniel, Elang." Mungkin terlalu kurang ajar meminta pertolongan kepada seorang yang piatu karena ulahnya dulu. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain memohon seperti ini. Bila Mama disuruh bersujud di kaki Elang, maka Mama tidak akan pernah ragu untuk melakukannya detik itu juga.

Elang masih kebingungan. Melihat Mama mengangis seperti orang gila membuat hati Elang ikut risau tanpa sebab. Elang memindai situasi, ada apa dengan Mama? apa yang membuat Mama jadi seperti ini? Elang tahu bahwa Daniel dan Bilal koma, tapi mereka masih terlihat aman dalam ketidak sadaran jika dipantau dari monitornya masing-masing.

Satu-satunya hal yang bisa dipertanyakan dalam ruang ICU ini adalah dokter perempuan yang terlihat sibuk sendiri di pojok sana. Ia sedang melakukan kompresi pada seorang pasien dengan tergopoh-gopoh. Apa ia butuh bantuan? Haruskah Elang membantunya? Apa pasiennya mengalami kode biru?

Mama menyempatkan diri menoleh ke arah di mana mata Elang memandang. Tangis mama terhenti. Kabut hitam yang tadi memenuhi hatinya kini menguap. Jika ada kata yang lebih tinggi dari kata 'lega' maka kata itulah yang bisa mendeskripsikan perasaan Mama.

Ternyata bunyi mengerikan itu bukan keluar dari monitor milik Daniel, melainkan milik orang yang ada di pojok sana. Entah mengigau atau bagaimana, Mama rasa dirinya sudah tinggal setengah waras dalam mengkhawatirkan kondisi Daniel lima hari belakangan ini.

ADIWIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang